Nyi Mas Hamong Yuliana, Melestarikan Sesaji dari Pawon Keraton Yogyakarta

Sebagai institusi tertinggi penyangga kelestarian budaya Jawa, Keraton Yogyakarta membutuhkan banyak hidangan setiap harinya. Selain untuk dikonsumsi sehari-hari oleh kerabat sultan dan Abdi Dalem, hidangan khas keraton juga disajikan untuk sesaji dan pelengkap upacara adat. 

Untuk menyiapkan sekian banyak hidangan, keraton didukung lima dapur utama yang disebut sebagai Pawon Ageng. Dua di antaranya adalah Pawon Wetan (Pawon Sekulanggen) dan Pawon Kulon (Pawon Gebulen). Penyebutan pawon ini didasarkan pada lokasi mereka yang berada di timur (wetan) dan barat (kulon) Plataran Magangan. Dua pawon tersebut menyiapkan sesaji harian dan Sugengan Ageng, bergantian setiap bulan. 

Nyi Mas Bekel Hamong Hatmo Yuliana mulai mengabdi di Pawon Kulon pada tahun 2010. Ia diangkat resmi menjadi Abdi Dalem empat tahun kemudian dan kini memimpin operasional dapur besar tersebut. Tanggung jawabnya besar, tetapi ia menjalaninya dengan ringan hati. 

Nyi Mas Hamong Yuliana 01

Turun-temurun

Perempuan bernama lahir Yuliana Isdaryani ini tak pernah berangan-angan untuk bekerja di keraton, meski nenek dan ibunya dahulu menjadi Abdi Dalem di pawon tersebut. Namun, ternyata ia terpanggil untuk meneruskan keahlian para pendahulunya. 

“Saya tertarik menjadi Abdi Dalem itu tadinya membantu itu. Berhubung ibu sudah tidak bisa menjalankan tugas, ya sudah saya ditarik saja. Tadinya hanya wakilnya ibu. Saya (kemudian) disuruh mengajukan surat-surat. Pas 2010, baru mengajukan (permohonan) dan dapat seragam (busana marak sowan). Ya memang pertamanya nggak kepikiran mau jadi Abdi Dalem.”  

Sang ibu merupakan sumber belajar utamanya, “Sekali dua kali diajari, lalu jalan,” kenangnya. 

Sebelum masuk keraton, Bu Yani –demikian ia biasa dipanggil-- adalah ibu rumah tangga yang aktif di berbagai organisasi, salah satunya Dharma Wanita Hotel Ambarukmo tempat suaminya (alm) bekerja sebagai pegawai restoran. Semasa hidup, suami Bu Yani juga sempat menjadi Abdi Dalem Pawon Kulon. 

Kini Bu Yani berpangkat bekel anom dan menjadi salah satu “ensiklopedia” hidup menyangkut aneka sesaji dan hidangan sugengan di keraton. Tak hanya bertanggung jawab menyiapkan sesaji, ia juga memiliki tugas penting lain, yaitu berbelanja semua bahan dibutuhkan oleh Pawon Kulon. 

Pelestari Sesaji

Pawon Kulon memiliki enam orang Abdi Dalem perempuan dan delapan Abdi Dalem laki-laki, yang bertugas membuat sesaji untuk berbagai upacara, seperti Siraman Pusaka, Garebeg, Malam Selikuran.” Ada pula sesaji untuk benda-benda pusaka setingkat Kanjeng Kiai Ageng. 

Beberapa sesaji yang rutin mereka siapkan antara lain sesaji (hari) Kamis Wage, Senin Wage, Senin Pahing, Selasa Pon, Kamis Pon, dan Sabtu Wage. Setiap sesaji terdiri dari hidangan yang berbeda, meskipun memiliki unsur-unsur yang sama. Bu Yani tidak mengetahui secara mendetail peruntukan tiap-tiap peringatan, tetapi ia hafal ubarampe yang harus disiapkan. Misalnya untuk Sugengan Tingalan Dalem Tahunan yang ditujukan untuk memperingati ulang tahun sultan berdasar kalender Jawa, salah satu sesaji yang harus disiapkan antara lain Tumpeng Yuswo sejumlah usia Sri Sultan. Setiap beseknya berisi satu tumpeng nasi putih, gudhangan bumbu anyep, jangan kothok, ketak-keluwak, bubuk kedelai, dan satu telur pindang dibelah dua. Masih ada puluhan sesaji lain untuk peringatan ulang tahun ini. 

Ketelitian dan manajemen sistematis mutlak dibutuhkan untuk bisa menyajikan hidangan terbaik secara konsisten.

Hidangan dan ubarampe yang sudah selesai dimasak dan ditata kemudian diperiksa oleh Bu Yani untuk memastikan tak ada yang terlewat. Setelahnya, seluruh sesaji diserahkan ke Sedahan untuk kemudian dibawa ke tempat penyajian atau lokasi berlangsungnya upacara. 

Upacara-upacara besar seperti Garebeg, Tingalan Jumenengan, Siraman Pusaka, dan pernikahan kerabat sultan misalnya, membutuhkan sesaji yang sangat banyak. Pada saat-saat istimewa tersebut biasanya Bu Yani akan mencari tenaga bantuan dari luar. 

Mengupayakan yang Terbaik

Bertahun-tahun mengurusi dapur keraton, Bu Yani tak menemukan masalah berarti. Nyaris tak ada keluhan mengenai masakan yang disajikan oleh Pawon Kulon. Hanya sekali dua kali ia menerima komplain dan itu dijadikan sebagai sarana untuk perbaikan. 

Kesulitan yang kadang ia hadapi adalah mencari bahan-bahan sesaji yang kebetulan di luar musim. Saat upacara Khaul Ageng misalnya, ia harus menyediakan segala macam buah dan segala macam ikan. Buah-buahan tertentu acap kali susah didapat. Namun entah bagaimana, selalu berhasil ia dapatkan. 

“Seperti jeruk gulung, kan tidak setiap saat ada. Saya harus cari ke sana-sana. Sama manggis yang sering kesulitan mencari, tetapi ya memang dapat, tetapi harus jauh.”

Guna mengatasi masalah seperti ini, ia menjalin hubungan baik dengan para pedagang pasar. “Semua bakul sering saya kasih pesan. Bakul-bakul juga sering berkata akan membantu mencarikan.”

Kendala semacam ini dapat didiskusikan saat seluruh anggota tim dapur keraton bertemu. Meski pada dasarnya setiap dapur memiliki kelompok sendiri, mereka tetap bekerja sama dan secara berkala berkumpul untuk berdiskusi dan mencari solusi di bawah pimpinan Putri Dalem GKR Maduretno, Penghageng Kawedanan Hageng Punokawan (KHP) Parasraya Budaya.

Lepas dari tantangan yang muncul dari waktu ke waktu, Bu Yani menikmati pekerjaannya dan nyaris tak pernah merasa berat hati. “Saya senang apabila yang saya kerjakan, saya persembahkan berkenan di keraton,” tuturnya. Ia tak pernah mempermasalahkan penghasilan, karena ada perasaan puas di hatinya. Ada perasaan mantep karena bekerja di keraton. Keluarga juga mendukungnya penuh. “Anak-anak nggak masalah. Kan kerjaan keraton nggak mesti tiap hari. Kalau hari-hari besar kami begadang. Pesan (anak-anak) jaga kondisi saja.” 

Kebahagiaan tertinggi Bu Yani rasakan saat orang-orang menikmati hidangannya. Kesedihan datang bila ada keluhan terkait masakannya, yang untung jarang sekali terjadi. 

Kenangan terindah ia dapatkan saat Abdi Dalem Pawon berfoto dengan keluarga Sri Sultan Hamengku Bawono Ka 10. “Saya ingat senang sekali. Cuma sekali. Pas Idulfitri itu kan sungkeman. Saya sampai sekarang masih punya fotonya.”  

Nyi Mas Hamong Yuliana 03

Mengabadikan Warisan 

Bu Yani gemar berorganisasi. Saat tergabung dengan Dharma Wanita Hotel Ambarukmo, ia tercatat sebagai anggota tim voli dan pernah bertanding hingga ke luar kota. Selain itu, ia juga pernah mengajar di TK yang dikelola oleh hotel tersebut. 

Kini, ia memilih bergaul di lingkungan sekitar, seperti menghadiri pertemuan PKK dan mengikuti kegiatan gereja. 

Ketiga anak perempuannya lulus dari perguruan tinggi, masing-masing telah berkeluarga dan hidup mandiri. Dua anaknya tinggal di luar kota, sementara anaknya yang tinggal di Yogyakarta sering berkunjung dan kadang mengajaknya berjalan-jalan. 

Berkomitmen tinggi dengan pekerjaannya, Bu Yani selalu mendahulukan tugas-tugasnya di keraton. “Saya sudah dapat kekancingan, saya memang harus tanggung jawab dengan pekerjaan saya.” Perempuan yang tinggal tak jauh dari keraton ini mengaku tak bisa meninggalkan pawon kecuali ia yakin benar sudah tidak ada pekerjaan yang harus ditanganinya. 

Saat memiliki waktu luang Bu Yani melakukan hobinya yaitu menonton video-video di YouTube dan mencatat resep masakan. Soal mencatat resep ini, rupanya Bu Yani menuruni kebiasaan baik nenek dan ibunya yang juga tekun mencatat resep hidangan dan kelengkapan sesaji keraton. Sampai kini, catatan mereka berdua masih menjadi pegangan Bu Yani. Tak ingin peninggalan berharga itu musnah, ia pun menyalinnya sedikit demi sedikit sekaligus membuat catatannya sendiri. Dokumentasi ini kelak tentu akan bermanfaat bagi kelestarian sesaji dan menu khas keraton. 

Sebagai pribadi bersahaja, Bu Yani tidak memiliki ambisi pribadi berlebih. “Semoga teman-teman Abdi Dalem Pawon tetap kuat dan sehat dalam ngayahi (bertugas) pekerjaan keraton. Keraton semoga tetap ayem tentrem.” Selain itu ia berharap anak-anak muda Yogyakarta menghargai tradisi Jawa, “Jadi unggah-ungguh dan budi pekerti, sopan santun harus tetap kita terapkan sehari-hari biarpun itu anak-anak muda. Otomatis orang Jogja itu kan nggak kasar. Setahu saya orang Jogja itu kan halus-halus.”