Syiar Islam Melalui Sekaten

Sekaten merupakan Hajad Dalem yang hingga saat ini rutin dilaksanakan Keraton Yogyakarta dari tanggal 5 sampai dengan tanggal 12 Mulud (Rabi’ul Awal). Sekaten diselenggarakan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. Ada pendapat yang menyatakan bahwa Sekaten berasal dari kata “sekati”. Sekati merupakan seperangkat gangsa (gamelan) yang diyakini berasal dari Majapahit yang kemudian dimiliki oleh Kerajaan Demak dan dibunyikan selama pelaksanaan Sekaten. Pendapat lain menyatakan bahwa Sekaten berasal dari kata “syahadatain” yang merupakan kalimat untuk menyatakan memeluk Islam.
 
 
Upacara Sekaten telah dilaksanakan sejak zaman Demak, kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Sekaten diselenggarakan sebagai salah satu dakwah untuk menyebarkan agama Islam. Proses Islamisasi ini juga tidak bisa dilepaskan dari usaha Wali Sanga dengan menggunakan sarana budaya dalam menjalankan dakwahnya.
 
 
Wali Sanga menyadari penyebaran agama Islam tidak dapat dilaksanakan dengan paksaan. Karena itu dibunyikanlah seperangkat Gangsa Sekati agar masyarakat tertarik mendekat ke masjid dan mendengarkan dakwah dari para wali.
 
 
Seperangkat Gangsa Sekati yang saat ini dimiliki oleh Kasultanan Yogyakarta merupakan warisan dari Kerajaan Mataram, yaitu Kiai Gunturmadu dan Kiai Guntursari. Saat Perjanjian Giyanti pada tahun 1755 yang membagi kerajaan Mataram, keduanya dibagi antara Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Kiai Gunturmadu diserahkan kepada Kasultanan Yogyakarta, sedangkan Kiai Guntursari diserahkan pada Kasunanan Surakarta. Untuk mengembalikan gamelan pada kelengkapan semula, Kasultanan Yogyakarta membuat putran (duplikasi) dari Kiai Guntursari yang diberi nama Kiai Nagawilaga.
 
5.2.4 1 Menabuh Gamelan
Para Abdi Dalem menabuh Gamelan Sekaten.
 
Rangkaian upacara Sekaten dimulai dengan prosesi keluarnya Gangsa Sekaten Kiai Gunturmadu dan Kiai Nagawilaga dari ruang penyimpannya di dalam Keraton menuju Bangsal PancanitiGangsa Sekaten akan ditabuh (dibunyikan) oleh Abdi Dalem Kridha Mardawa pada pukul 19.00. Sebelum menabuh gamelan pusaka tersebut, para Abdi Dalem Kridha Mardawa yang bertugas terlebih dulu akan menjalani tradisi untuk bersuci secara lahir dan batin, dengan harapan bisa melaksanakan tugas sakral tersebut dengan lancar dan selamat. Adapun Gendhing yang dimainkan saat Gangsa Sekaten berada di Bangsal Pancaniti adalah gendhing rambugendhing rangkung, dan gendhing andong-andong atau gendhing lunggadung.
 
 
Saat Kiai Gunturmadu dan Kiai Nagawilaga ditabuh, Sultan mengirim utusannya ke Bangsal Pancaniti sisi timur dan barat untuk menyebar udhik-udhik kepada para penabuh dan pengunjung yang hadir. Udhik-udhik tersebut berupa biji-bijian dan uang logam yang dimaksudkan sebagai simbol sedekah, doa keselamatan, dan kesejahteraan dari raja kepada rakyatnya.
 
 
Gangsa Sekaten ditabuh hingga pukul 23.00, bertepatan dengan datangnya Abdi Dalem Kawedanan Hageng Punakawan Wahana sarta Kriya di Bangsal PancanitiGangsa Sekaten kemudian ditata di ancak yang digunakan sebagai alat untuk membawa gamelan dari Bangsal Pancaniti menuju ke Masjid Gedhe. Upacara yang disebut Miyos Gangsa ini dilaksanakan tepat pada tengah malam, dengan dikawal oleh para Abdi Dalem dan Prajurit Keraton menuju ke Masjid Gedhe. Sesampainya di Masjid GedheKiai Gunturmadu ditata di Pagongan Kidul sedangkan Kiai Nagawilaga ditata di Pagongan LorPagongan adalah sepasang bangunan yang terletak saling berhadapan di halaman Masjid Gedhe.
 
 
 
5.2.4 2 Sumping Melati
Ngarsa Dalem mengenakan Sumping Melati saat mendengar pembacaan riwayat Rasulullah SAW.
 
Gangsa Sekaten ditabuh dari tanggal 6 sampai dengan tanggal 11 Mulud, 3 kali sehari. Pagi hari Gangsa Sekaten ditabuh sejak jam 08.00 hingga 11.00, siang hari sejak 14.00 hingga 17.00, dan malam hari sejak jam 20.00 hingga 23.00. Gangsa Sekaten tidak akan ditabuh pada hari Kamis petang sampai dengan selepas sholat Jumat.
 
 
Rangkaian Sekaten akan dilanjutkan dengan upacara Numplak Wajik yang menandai dimulainya pembuatan Gunungan Wadon (putri) untuk Garebeg MuludGunungan lain yang dipersiapkan untuk Garebeg Mulud adalah Gunungan LanangGunungan GepakGunungan Dharat dan Gunungan Pawuhan. Upacara Numplak Wajik dilaksanakan pada tanggal 9 Mulud di Panti Pareden, halaman Kamagangan Keraton. Upacara ini dilaksanakan sore hari dan dihadiri oleh para Penghageng Keraton dan juga para Abdi Dalem.
 
 
Lesung dan alu (alat penumbuk padi terbuat dari kayu), disertai wajik (makanan tradisional berbahan ketan dan gula kelapa) beserta tempatnya diangkut dari tempat memasak menuju Kamagangan. Dipersiapkan juga serangkaian busana wanita berupa nyamping, kain semekan, untaian bunga melati, kanthil, dan mawar, serta bedak dari beras, kencur dan dlingo bengle. Numplak Wajik dilakukan dengan membunyikan lesung dengan alu dengan irama tertentu, ini dimaksudkan agar pembuatan Gunungan Wadon dapat berjalan dengan lancar tanpa halangan.
 
 
Pada tanggal 11 Mulud malam atau bertepatan dengan malam tanggal 12 diselenggarakan pembacaan riwayat Nabi Muhammad. Sebelumnya, Sultan diikuti para pengiring miyos (hadir) dari Keraton menuju ke Masjid Gedhe. Sesampainya di Masjid Gedhe, Sultan disambut oleh Kanjeng Pengulu dan para Abdi Dalem. Sultan kemudian menuju ke Pagongan Kidul untuk menyebarkan udhik-udhik di lokasi penempatan Gangsa Kanjeng Kiai Gunturmadu, dilanjutkan prosesi serupa di Pagongan Lor, lokasi penempatan Gangsa Kanjeng Kiai Nagawilaga.
 
 
Setelah prosesi penyebaran udhik-udhik di kedua Pagongan, Sultan dan segenap pengiringnya masuk ke dalam Masjid Gedhe, untuk melanjutkan prosesi penyebaran udhik-udhik yang dilaksanakan diantara “saka guru” Masjid Gedhe, ke arah kerabat, para Abdi Dalem, dan para hadirin.
 
 
Prosesi selanjutnya adalah pembacaan riwayat Nabi Muhammad yang dilaksanakan di serambi Mesjid Gedhe, Sultan mengucapkan salam kepada semua yang hadir sebagai isyarat kepada Abdi Dalem Pengulu untuk memulai pembacaan riwayat Rasulullah SAW. Ketika pembacaan riwayat Nabi Muhammad sampai pada bagian asrokal (peristiwa kelahiran Nabi), Sultan beserta para pengiringnya akan menerima persembahan Sumping Melati (hiasan telinga dari bunga melati) dari Abdi Dalem Punokawan Kaji, untuk dikenakan di telinga. Hal ini memiliki makna bahwa Sultan sebagai raja senantiasa mendengar aspirasi dan pendapat rakyatnya dan akan melaksanakan harapan rakyatnya tersebut. Setelah Abdi Dalem pengulu selesai membacakan riwayat Rasulullah, maka Sultan akan memberi salam kembali ke Keraton.
 
 
Pada pukul 23.00 Gangsa Sekaten berhenti ditabuh. Perangkat gamelan tersebut kemudian diangkut oleh Abdi Dalem Kawedanan Hageng Punakawan Wahana sarta KriyaAbdi Dalem Prajurit berbaris di depan Pagongan untuk mengawal kembalinya Gangsa Sekaten. Setelah semuanya siap, Kanjeng Pengulu melepas kembalinya Gangsa Sekaten ke keraton. Peristiwa ini disebut sebagai Kondur Gangsa.
 
 
Sesampainya di keraton, gamelan disemayamkan di tempatnya semula. Dengan dikembalikannya Gangsa Sekaten ke keraton, maka upacara Sekaten telah selesai dan akan dilanjutkan dengan Garebeg Mulud pada keesokan harinya.
 
 
 
5.2.4 3 Kondur Gangsa
Gamelan Sekaten dibawa kembali ke keraton.
 
Upacara Sekaten, merupakan rangkaian prosesi warisan para leluhur yang sarat makna dan filosofi. Sudah selayaknya upacara adat ini dimaknai tidak hanya sebagai perayaan hiburan, apalagi sebatas keberadaan pasar malam yang menyertainya. Peringatan kelahiran Nabi Muhammad ini dilaksanakan sebagai bagian dari syi’ar nilai-nilai keislaman, yang diselaraskan dengan nilai-nilai budaya yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat pada masanya.
 

 
Daftar Pustaka:
Herry L. 2013. Sekaten. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Suyami. 2008. Upacara Ritual di Kraton Yogyakarta. Yogyakarta: Kepel Press.
Yuwono. S.S, dkk. 2010. Nilai Budaya dan Filosofi Upacara Sekaten di Yogyakarta. Yogyakarta: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Yogyakarta.
Wawancara KRT. Rintaiswara pada Danapratapa episode Sekaten Garebeg Mulud. Produksi Tepas Tandha Yekti Keraton Yogyakarta, 2014.