Numplak Wajik

umplak Wajik merupakan upacara yang menandai dimulainya proses merangkai gunungan, simbol sedekah raja kepada rakyat. Nantinya, gunungan tersebut akan diarak dan dibagikan kepada warga pada upacara Garebeg.

Dalam setahun Keraton Yogyakarta menggelar tiga kali upacara GarebegGarebeg Mulud untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad, Garebeg Sawal menandai akhir bulan puasa, dan Garebeg Besar untuk memperingati hari raya Idul Adha. Karena dalam setiap Garebeg tersebut keraton selalu mengeluarkan gunungan untuk dibagikan, maka dalam setahun tiga kali pula Keraton Yogyakarta menggelar upacara Numplak Wajik.

 

Wajik pada bagian dalam Gunungan Estri

Berbeda dengan gunungan yang lain, Gunungan Estri memiliki satu bakul wajik yang kini disusun berlapis dengan tiwul di dalamnya. Wajik adalah sejenis kue yang terbuat dari ketan yang direbus dengan gula merah dan santan kelapa, sedang tiwul adalah makanan yang dibuat dari tumbukan singkong kering. Wajik dan tiwul ini sekaligus juga berfungsi sebagai pondasi bagi mustaka (bagian atas) gunungan. Kue-kue ketan yang menjadi bagian atas gunungan tersebut dipacak (ditancapkan) pada sujen (batang kecil panjang yang terbuat dari bambu). Sujen-sujen ini kemudian diikatkan pada sebatang kayu yang bagian bawahnya nanti ditancapkan pada wajik tadi. Proses numplak, yakni menuang seluruh adonan wajik dengan cara membalikkan wadahnya inilah yang menjadi inti dari upacara Numplak Wajik.

 

 

2. Wajik Ditumplak Pada Jodhang
Wajik ditumplak pada jodhang

 

Jalannya Upacara Numplak Wajik

Proses persiapan pembuatan gunungan sendiri sudah dilakukan sekitar dua bulan sebelum Garebeg, sementara proses pembuatannya dimulai sekitar satu bulan sebelum GarebegNumplak Wajik sendiri dilaksanakan sore hari, selepas waktu Ashar, sekitar pukul 15.30, bertempat di Panti Pareden Kilen yang terletak di pojok barat daya Plataran Kemagangan, tiga hari sebelum Garebeg berlangsung.

Menjelang upacara Numplak Wajik dilaksanakan, kerangka dan mustaka gunungan telah diletakkan di Panti ParedenAbdi Dalem KHP Widyabudaya selaku pihak yang bertugas menjalankan upacara-upacara adat keraton juga telah hadir lebih dahulu. Tidak jauh dari pagar Panti Pareden, disiapkan sebuah lesung besar dan beberapa alu penumbuk. Sekitar pukul 15.30, rombongan Abdi Dalem Keparak yang dipimpin oleh seorang Putri Dalem (putri Sultan), atau saudari Sultan yang ditunjuk, datang dari utara melalui Regol Kemagangan. Kedatangan mereka diiringi oleh gejog lesung yang dimainkan Abdi Dalem. Lesung yang terbuat dari gelondongan kayu besar dipukul oleh beberapa alu dengan irama tertentu sehingga menghasilkan musik yang dipercaya dapat menolak bala. Setelah rombongan tersebut duduk di dalam Panti Pareden, maka upacara pun siap dimulai.

Upacara Numplak Wajik dibuka dengan doa yang dipimpin oleh Abdi Dalem Kanca Kaji. Setelah itu Abdi Dalem Kanca Abang mempersiapkan jodhangJodhang adalah landasan gunungan dari kayu yang nantinya digunakan untuk mengangkut gunungan tersebut. Gejog lesung pun kembali terdengar. Irama Gendhing (lagu) Tundhung Setan yang dimainkan menggunakan lesung dan alu tersebut terus mengalun selama prosesi berlangsung.

Sebakul besar wajik ditumplak pada jodhang, bentuknya serupa silinder dengan ketinggian sekitar pinggul orang dewasa. Rangka Gunungan Wadon yang terbuat dari bambu kemudian dipasang, diikat erat pada pasak besi yang terdapat pada jodhang Mustaka gunungan yang telah dipersiapkan sebelumnya diangkat dan ditancapkan pada wajik tadi. Abdi Dalem Keparak mengoles lulur yang terbuat dari dlingo dan bengle pada jodhangSinjang (kain panjang) songer kemudian dililitkan pada rangka gunungan. Lilitan tersebut kemudian diikuti lilitan semekan (kain penutup dada perempuan) bangun tulak.

Gejog lesung berhenti dimainkan, pertanda upacara telah selesai. Lulur dlingo bengle kemudian dibagikan kepada Abdi Dalem yang bertugas serta pengunjung yang hadir. Tidak lama kemudian, sinjang songer dan semekan bangun tulak dilepas kembali.

Dalam kepercayaan tradisional masyarakat Jawa, dlingo dan bengle adalah empon-empon (rempah-rempah) yang aromanya tidak disukai oleh mahluk halus. Baik gejog lesung dan lulur dlingo bengle berfungsi untuk penolak bala, ungkapan permohonan pada Yang Maha Kuasa agar rangkaian upacara yang diselenggarakan dapat lancar tanpa kendala.

Upacara berlangsung sekitar setengah jam. Proses menyelesaikan rangkaian gunungan dilanjutkan hingga menjelang upacara Garebeg. Pagi dini hari sebelum upacara Garebeg berlangsung, gunungan telah siap diangkut menuju Tratag Bangsal Pancaniti untuk nantinya dibawa keluar keraton dan dibagikan kepada rakyat.


Daftar Pustaka:
Djoko Dwiyanto, dkk. 2010. Ensiklopedia Kraton Yogyakarta. Yogyakarta: Dinas Kebudayaan Provinsi DIY
KRT Wasesawinoto. Hajad Dalem Sekaten. 2006. Yogyakarta
Suyami. Upacara Ritual di Kraton Yogyakarta. 2008. Yogyakarta: Kepel Press