Mengenal Gamelan Keraton Yogyakarta

Keraton Yogyakarta memiliki berbagai benda pusaka, salah satunya berupa alat musik gamelan. Gamelan merupakan seperangkat ansambel tradisional Jawa, yang memiliki tangga nada pentatonis dalam sistem tangga nada slendro dan pelog. Masyarakat Jawa menyebut gamelan sebagai gangsa yang merupakan jarwa dhosok (akronim) dari tiga sedasa (tiga dan sepuluh). Tiga sedasa merujuk pada elemen pembuat gamelan berupa perpaduan tiga bagian tembaga dan sepuluh bagian timah. Perpaduan tersebut menghasilkan perunggu, yang dianggap sebagai bahan baku terbaik untuk membuat gamelan.

Instrumen yang dimainkan dalam seperangkat gamelan antara lain kendang, bonang, panerus, gender, dan gambang. Selain itu ada suling, siter, clempung, slenthem, demung, dan saron. Juga tidak ketinggalan gong, kenong, kethuk, japan, kempyang, kempul, dan peking.

Keraton Yogyakarta memiliki sekitar 21 perangkat gamelan yang dikelompokkan menjadi dua, yakni Gangsa Pakurmatan dan Gangsa Ageng.

 

24173885 712449142292348 6249712121420260529 O
Kanjeng Kiai Gunturmadu dalam perayaan Sekaten

 

Gangsa Pakurmatan

Gangsa Pakurmatan dimainkan untuk mengiringi Hajad Dalem atau upacara adat keraton. Gangsa Pakurmatan terdiri dari Kanjeng Kiai Guntur Laut, Kanjeng Kiai Kebo Ganggang, Kanjeng Kiai Guntur Madu, Kanjeng Kiai Nagawilaga, dan Gangsa Carabalen.

Kanjeng Kiai Guntur Laut atau disebut juga Gangsa Monggang hanya dimainkan dalam upacara kenegaraan yang penting seperti Jumenengan (upacara penobatan) Sultan, menyambut tamu yang sangat terhormat di keraton, pernikahan kerajaan, dan Garebeg.

Kanjeng Kiai Kebo Ganggang atau disebut pula Gamelan Kodhok Ngorek biasa dimainkan bersama Kanjeng Kiai Guntur Laut. Seperti pada Jumenengan Sultan dan Garebeg.

Kanjeng Kiai Sekati yang terdiri dari dua perangkat yakni Kanjeng Kiai Gunturmadu dan Kanjeng Kiai Nagawilaga. Gamelan Sekati khusus dimainkan pada perayaan Sekaten.

Gangsa Carabalen pada masa lalu berfungsi antara lain untuk menyambut kedatangan tamu keraton, mengiringi latihan baris-berbaris prajurit putri, dan Garebeg.

 

Ds C01737
Kanjeng Kiai Surak dari zaman Sri Sultan Hamengku Buwono I

 

Gangsa Ageng

Berbeda dengan Gangsa Pakurmatan, Gangsa Ageng dimainkan sebagai pengiring pergelaran seni budaya keraton. Selain itu, Gangsa Ageng memiliki instrumen lebih lengkap dibanding Gangsa Pakurmatan. Gangsa Ageng yang dimiliki Keraton Yogyakarta antara lain;

Kanjeng Kiai Surak, merupakan gamelan yang dibawa oleh Pangeran Mangkubumi (Sri Sultan Hamengku Buwono I) saat masih berperang melawan VOC. Saat itu, gamelan ini dimainkan untuk menggugah semangat juang para prajurit. Saat kesultanan telah berdiri, gamelan berlaras slendro ini dimainkan untuk mengiringi Ngabekten dan adu banteng melawan macan.

Kanjeng Kiai Kancil Belik, dibawa dari Kasunanan Surakarta setelah perjanjian Giyanti. Gamelan yang berlaras pelog ini ditabuh untuk mengiring kedatangan Sultan pada upacara Ngabekten, mengiringi Krama Dalem (pernikahan Sultan), dan Supitan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom (Putra Mahkota).

Kanjeng Kiai Guntur Sari, merupakan peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono I. Gamelan berlaras pelog ini digunakan untuk mengiringi tari Beksan Trunajaya, Hajad Dalem Supitan dan Tetesan, dan Prajurit Langenastra saat Garebeg Mulud. Karena larasnya hampir sama dengan Gangsa Sekati, gamelan ini juga digunakan untuk latihan acara Sekaten.

Kanjeng Kiai Marikangen merupakan peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono III. Pada masa lalu gamelan berlaras slendro ini digunakan untuk mengiringi prajurit putri Langenkusuma menuju alun-alun untuk berlatih perang. Pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VI dan Sri Sultan Hamengku Buwono VII digunakan untuk mengiringi tari Bedhaya, Wayang Wong (ringgit tiyang), dan wayang kulit (ringgit wacucal).

Kanjeng Kiai Panji dan Kanjeng Kiai Pusparana merupakan peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono V. Kanjeng Kiai Panji berlaras pelog dan Kanjeng Kiai Pusparana berlaras slendro.

Kanjeng Kiai Madukintir dan Kanjeng Kiai Siratmadu, merupakan peninggalan masa Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Keduanya dibuat atas prakarsa Pangeran Purubaya, yang kemudian menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, pada tahun 1901. Kanjeng Kiai Madukintir berlaras slendro sedang Kanjeng Kiai Siratmadu berlaras pelog, keduanya digunakan untuk mengiringi Wayang Wong, beksan (pertunjukan tari), dan uyon-uyon (karawitan).

Kanjeng Kiai Medharsih dan Kanjeng Kiai Mikatsih merupakan peninggalan masa Sri Sultan Hamengku Buwono VII, kemungkinan beliau dapatkan ketika masih menjadi putra mahkota. Kanjeng Kiai Medharsih memiliki laras slendro sedang Kanjeng Kiai Mikatsih memiliki laras pelog. Keduanya digunakan untuk mengiringi beksan, uyon-uyon, dan semacamnya.

Kanjeng Kiai Harjanagara dan Kanjeng Kiai Harjamulya merupakan peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Kanjeng Kiai Harjanegara memiliki laras slendro sedang Kanjeng Kiai Harjamulya memiliki laras pelog. Keduanya digunakan untuk mengiringi Wayang Wong dan uyon-uyon.

Kanjeng Kiai Madumurti dan Kanjeng Kiai Madu Kusumo merupakan pemberian Li Jing Kim kepada Sri Sultan Hamengku Buwono VIII pada tahun 1930. Li Jing Kim merupakan seorang warga Yogyakarta keturunan Cina yang sangat mencintai budaya Jawa. Kanjeng Kiai Madumurti memiliki laras slendro sedang Kanjeng Kiai Madukusuma memiliki laras pelog. Keduanya digunakan untuk mengiringi Wayang Wong dan uyon-uyon.

Kanjeng Kiai Sangumulya dan Kanjeng Kiai Sangumukti dibuat pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono X pada tahun 1998. Kanjeng Kiai Sangumulya berlaras pelog sedang Kanjeng Kiai Sangumukti berlaras slendro. Keduanya digunakan untuk mengiringi beksan, wayang kulit, wayang golek, dan uyon-uyon. Nama kedua gamelan tersebut berasal dari pertanyaan Sri Sultan Hamengku Buwono IX kepada putranya yang kemudian naik takhta menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono X, manakah yang ia inginkan, hidup mukti atau hidup mulya.

Kecuali Kanjeng Kiai Kancil Belik dan Kanjeng Kiai Surak, penempatan Gangsa Ageng dirotasi tiap beberapa tahun untuk memastikan semuanya diperhatikan dan dirawat dengan baik. Sedang Kanjeng Kiai Kancil Belik selalu diletakkan di Gedhong Gangsa Lor, dan Kanjeng Kiai Surak, karena lebih tua, diletakkan di Gedhong Gangsa Kidul. Kedua Gedhong Gangsa tersebut berada di Plataran Kedhaton, berhadapan dengan Bangsal Kencana.

 

Ds C03092
Kanjeng Kiai Harjamulya dan Kanjeng Kiai Harjanegara dalam kegiatan rutin uyon-uyon

 

Tiap hari Jumat, salah satu dari gamelan ini akan dibersihkan dan diperiksa secara bergilir oleh Abdi Dalem Kanca Gendhing. Apabila ditemukan kerusakan, maka perbaikan segera dilakukan. Sedang gamelan yang tidak dapat diperbaiki kembali, akan dilebur untuk kemudian dibuat menjadi baru kembali tanpa mengubah unsur logam pembuatnya.

Hingga saat ini, di tengah perkembangan alat-alat musik modern, gamelan tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari Keraton Yogyakarta. Perpaduan sempurna antara denting lembut dan dentum megah yang dihasilkan oleh logam perunggu bermutu prima itu selalu menjiwai setiap upacara kerajaan dan memberi warna pada setiap pergelaran seni budaya di Keraton Yogyakarta.


Daftar Pustaka:
KRT Widyacandra Ismayaningrat, dkk. 2016. Serial Khasanah Pustaka KHP Widyabudaya: Bab Kagungan Dalem Gangsa lan Ringgit. Yogyakarta: KHP Widayabudaya Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat
R.M. Soedarsono. 1997. Wayang Wong: Drama Ritual Kenegaraan di Keraton Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Wawancara ML Susilamadya pada November 2017
http://vetter.sites.grinnell.edu/gamelan/ diakses pada Januari 2018