Beksan Etheng

Beksan Etheng merupakan Yasan Dalem (karya) Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755-1792). Diciptakan pada 1763, periode awal masa damai setelah peperangan melawan penjajah, tari ini bertujuan mengendalikan situasi sosial di negara yang sudah sah berdiri dan berdaulat. Beksan tersebut menggambarkan pertandingan dan taruhan etheng, adu ketangkasan yang mengharuskan pemain menyentuh tubuh lawan untuk menjadi pemenang. Pemain yang kalah tidak boleh mengikuti babak selanjutnya.

Kedudukan Beksan Etheng

Meskipun lahir bersamaan dengan Beksan Trunajaya (Lawung Ageng, Lawung Alus dan Sekar Medura), Beksan Etheng merupakan tari yang berdiri sendiri. Namun, kedudukan dan fungsinya dapat disetarakan dengan Beksan Trunajaya, yaitu sebagai sajian pertunjukan pada jamuan resepsi pernikahan agung putra-putri Sultan.

Pada masa kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono V hingga Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, pertunjukan Beksan Etheng digelar pada hari kedua jamuan resepsi pernikahan agung di Kepatihan dan dihadiri oleh Sri Sultan. Jamuan ini sering disebut perjamuan Jangan Meniran. Jamuan resepsi hari pertama di Kepatihan dituanrumahi oleh Pepatih Dalem tanpa kehadiran Sri Sultan. Dalam kesempatan itu Beksan Trunajaya disajikan sebagai hadiah pahargyan, perlambang restu dan wakil kehadiran Sri Sultan. Pada era kini Beksan Etheng jarang dipentaskan dalam resepsi pernikahan agung karena hajad tersebut hanya dilangsungkan sehari. 

Uyon Uyon Hadiluhung Beksan Eteng 05072020 03

Peran dalam Beksan Etheng

Beksan Etheng dibawakan oleh 12 penari dengan tiga peran; botoh, sawung, dan rencang botoh. Botoh terdiri dari empat penari, berperan sebagai pemimpin. Penari botoh menarikan ragam gerak kagok bapang yang berkarakter gagah dan ekspresif. Sawung sebagai peserta pertandingan, dimainkan oleh empat orang juga. Mereka menampilkan ragam gerak kalang kinantang alus yang berkarakter halus, banyak tingkah, namun tetap dinamis. Terakhir, empat penari memerankan rencang botoh. Mereka adalah abdi setia masing-masing botoh serta menampilkan gerak gecul yang bersifat jenaka. Peran-peran itu merefleksikan semangat keprajuritan. Dalam pementasan, dua belas peran tersebut menggunakan namanya sendiri-sendiri, tidak membawakan tokoh lain atau karakter wayang. Nama mereka disebut berulang-ulang dalam pocapan (dialog) maupun kandha (narasi). 

Tata Busana Beksan Etheng

Botoh Beksan Etheng mengenakan penutup kepala ikat tepen berbentuk kodhok bineset, celana cindhe, kain motif kawung barong ageng, lonthong cindhe, kamus timang bludiran, krincing, bara, kaweng (selempang), kalung tanggalan, kelat bahu, keris gayaman, oren, dan buntal. Sementara, pemeran sawung mengenakan penutup kepala berbentuk lar (sayap burung) gurdha mungkur, celana cindhe, kain motif parang gendreh, lonthong cindhe, kamus timang, bara, kalung sungsun, kelat bahu, keris branggah, sumping, dan oren. Selanjutnya, rencang botoh mengenakan busana bernuansa Madura. Selain itu, penari botoh dan sawung memakai tameng sebagai properti pada permulaan dan akhir tari.

Bahasa dalam Pocapan Beksan Etheng

Pocapan Beksan Etheng dituturkan dalam campuran bahasa Madura –paling dominan–, Bugis, Melayu, dan Jawa dialek Bagongan. Pocapan dibawakan para penari sembari menari atau secara teatrikal. Ekspresi bahasa tutur ini bersumber dari bahasa pergaulan prajurit Sri Sultan Hamengku Buwono I yang multietnis.

Penyajian dan Iringan Musik Beksan Etheng

Beksan Etheng disajikan dalam empat bagian, meliputi majeng gendhing, adon-adon, tagihan, dan mundur gendhing. Iringan utamanya adalah Gendhing Tawang Ganjur slendro pathet sanga. Gendhing tersebut dimainkan oleh Gangsa Kanjeng Kiai Surak. Sampai dengan masa Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, gamelan ini masih digunakan untuk mengiringi Beksan Etheng

Majeng gendhing dibuka dengan iringan lagon ngelik slendro sanga, mengiringi para penari memasuki arena pertunjukan. Selanjutnya Gendhing Tawang Ganjur slendro sanga dan kendhangan ketawang dimainkan untuk adegan tantang menantang kedua belah pihak, baik antara botoh dengan botoh maupun sawung dengan sawung.

Bagian kedua, yaitu adon-adon (bertanding), diiringi Gendhing Ayak-ayak, lalu beralih ke Srepegan slendro sanga, kemudian kendhangan patut. Selanjutnya adegan laga etheng berlangsung hingga empat kali, yaitu dua kali pur (seri) dan dua kali dimenangkan oleh sawung salah satu pihak. Gendhing Tawang Ganjur slendro sanga dan kendhangan ketawang pun kembali mengalun.

Pada bagian ketiga, yaitu tagihan, botoh dari pihak yang memenangkan pertandingan menyuruh sawungnya meminta uang taruhan dari pihak yang kalah, namun pihak yang kalah tak rela menyerahkannya. Pada akhirnya uang berhasil didapat setelah para sawung mengatasi gangguan dari rencang botoh pihak yang kalah dengan meminta ujuran (sedekah) dari kemenangan tersebut. Cerita ini diakhiri dengan adegan sawung pemenang membagi uang taruhan kepada botohnya.

Uyon Uyon Hadiluhung Beksan Eteng 05072020 02

Bagian terakhir, yaitu mundur gendhing. Gendhing Tawang Ganjur slendro sanga dan kendhangan ketawang mengiringi para penari kembali ke tengah arena pertunjukan. Pertunjukan ditutup dengan iringan lagon wetah slendro sanga.

Dahulu Beksan Etheng digelar selama hampir dua jam. Selama itu para botoh dituntut berdiri tegak dalam sikap sempurna.  Untuk meredakan ketegangan, rencang botoh kadang-kadang menghibur mereka. Beksan Etheng tercatat pernah dipentaskan oleh Bebadan Among Beksa untuk merayakan hari ulang tahun Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada 1955 dan 1972, dan di Taman Ismail Marzuki pada 1974.

Beksan Etheng merupakan mahakarya yang mencerminkan semangat keprajuritan. Berstatus sebagai tari pusaka, beksan ini tidak dapat dipentaskan sembarangan. Tari ini menawarkan kesegaran dan lelucon namun tetap menjaga kewibawaan dan keagungannya. Untuk itu para penari yang melakonkannya wajib memiliki keterampilan tingkat tinggi.

 


DAFTAR PUSTAKA
Dewan Ahli Yayasan Siswa Among Beksa Ngayogyakarta Hadiningrat. 1981. Kawruh Joged Mataram. Yogyakarta: Yayasan Siswa Among Beksa
Purwadmadi. 2017. Ragam Seni Pertunjukan Tradisi #6. Yogyakarta: UPTD Taman Budaya
RM Pramutomo. 2009. Tari, Seremoni, dan Politik Kolonial (I). Surakarta: ISI Press
Sri Djoharnurani. 1980. Pocapan Beksan Etheng dan Beksan Lawung. Sub/Bagian Proyek ASTI Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Wawancara dengan RM Pramutomo pada 26 April 2020
Wawancara dengan RW Rogomurti pada 29 April 2020