Gangsa Pakurmatan

Selain Gangsa (gamelan) Ageng untuk mengiringi berbagai pergelaran seni budaya, Keraton Yogyakarta juga memiliki Gangsa Pakurmatan yang khusus dimainkan untuk mengiringi prosesi penting dan sakral. Gangsa Pakurmatan terdiri dari Kanjeng Kiai Guntur Laut, Kanjeng Kiai Kebo Ganggang, Kanjeng Kiai Sekati, dan Gamelan Carabalen.

Kanjeng Kiai Guntur Laut

Dari puluhan gangsa pusaka milik keraton, Kanjeng Kiai Guntur Laut atau disebut juga Gangsa Monggang dianggap sebagai gamelan yang paling sakral. Seperangkat ansambel sederhana tersebut diyakini sudah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit. Gangsa Monggang ini diwariskan dari Kerajaan Mataram Islam kepada Keraton Yogyakarta setelah Perjanjian Giyanti. 

Kanjeng Kiai Guntur Laut hanya dimainkan dalam upacara yang sangat penting. Antara lain mengiringi upacara penobatan Sultan (jumenengan), kedatangan tamu yang sangat terhormat di keraton, kelahiran putra Sultan dari Permaisuri, Supitan (khitan) putra Sultan dari permaisuri, jamuan makan resmi di tanggal-tanggal ganjil pada akhir Ramadan (tanggal 21, 23, 25, dan 29), upacara pemakaman Sultan, Garebeg Sawal, Garebeg Mulud, dan Garebeg Besar. Pada masa lalu, gamelan ini juga digunakan untuk mengiringi rampogan macan, adu banteng dan macan, dan latihan perang di Alun-Alun Utara.

Kanjeng Kiai Guntur Laut memiliki laras pelog dan hanya memainkan tiga nada saja (2,3, dan 5) sehingga sering disebut juga sebagai Patigan Guntur Laut. Karena fungsi ritualnya yang sangat khidmat tersebut, Kanjeng Kiai Guntur Laut hanya memainkan satu lagu atau gendhing yang dinamai Gendhing Monggang

Guntur Laut 3

Kanjeng Kiai Kebo Ganggang

Kanjeng Kiai Kebo Ganggang, atau disebut pula Gamelan Kodhok Ngorek, juga diyakini berasal dari zaman Majapahit. Gamelan ini diwariskan dari Kerajaan Mataram kepada Keraton Yogyakarta setelah Perjanjian Giyanti. 

Kanjeng Kiai Kebo Ganggang juga hanya dimainkan pada upacara-upacara penting. Antara lain mengiringi upacara penobatan Sultan (jumenengan), kelahiran putri Sultan dari Permaisuri, Tetesan putri Sultan dari Permaisuri, upacara pemakaman Sultan, Garebeg Sawal, Garebeg Mulud, dan Garebeg Besar. 

Gamelan dengan laras slendro ini memiliki dua nada (5 dan 6). Gamelan ini hanya memainkan dua jenis Gendhing yaitu Kodhok Ngorek dan Nagalantur

Kebo Ganggang 1

Kanjeng Kiai Sekati (Kanjeng Kiai Guntur Madu dan Kanjeng Kiai Nagawilaga)

Kanjeng Kiai Sekati atau Gangsa Sekati hanya dimainkan pada perayaan Sekaten, yakni sarana syiar Islam sekaligus tradisi untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW yang sudah ada sejak zaman Kerajaan Demak.

Pada awalnya, Gangsa Sekati milik Kerajaan Mataram terdiri dari dua perangkat yakni Kanjeng Kiai Guntur Madu dan Kanjeng Kiai Guntur Sari. Keduanya dibuat pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645). Hal ini ditunjukkan dengan candra sengkalan memet “Rerenggan Woh-Wohan Tinata ing Wadhah” yang dapat diartikan sebagai “Aneka Buah-Buahan Tertata di Wadah”. Sengkalan ini menunjuk pada tahun 1566 J atau tahun 1644 M.

Sebagai bagian dari Perjanjian Giyanti, Kanjeng Kiai Guntur Madu dan Kanjeng Kiai Guntur Sari dibagi masing-masing kepada Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Yogyakarta mendapat Kanjeng Kiai Guntur Madu sedang Surakarta mendapat Kanjeng Kiai Guntur Sari.

Untuk mengembalikan Gangsa Sekati pada kelengkapan semula, Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755-1792), membuat putran (duplikat) dari Kanjeng Kiai Guntur Sari yang diberi nama Kanjeng Kiai Nagawilaga. Karena Kanjeng Kiai Guntur Madu lebih tua, maka tiap kali Sekaten berlangsung, gamelan tersebut selalu diletakkan di Pagongan Kidul, di sebelah kanan Sultan saat beliau duduk di Masjid Gedhe. Sementara Kanjeng Kiai Nagawilaga yang dianggap lebih muda, diletakkan di Pagongan Lor.

Kedua perangkat gamelan ini selalu dipersiapkan secara cermat sebelum digunakan untuk mengiringi upacara Sekaten. Seminggu sebelum Sekaten, gamelan diperiksa larasnya. Setelah itu, tiga hari sebelum Sekaten, gamelan dijamas (dibersihkan).

Setelah berakhirnya Sekaten, biasanya dilakukan pemeriksaan dan perbaikan terhadap Gangsa Sekati. Kerusakan sering terjadi akibat benturan-benturan yang diakibatkan oleh banyaknya orang yang memperebutkan koin saat prosesi penyebaran Udhik-Udhik

Guntur Madu 2

Gangsa Carabalen

Gamelan Pakurmatan terakhir adalah Gangsa Carabalen. Gamelan ini kini diletakkan di Sitihinggil Lor setelah sebelumnya sempat disimpan di Kepatihan. Pada masa lalu fungsinya antara lain untuk mengiringi kedatangan tamu keraton, mengiringi Garebeg, mengiringi latihan baris-berbaris prajurit putri, dan jemparingan (panahan).

Gangsa Pakurmatan, meski ragam instrumennya tidak selengkap Gangsa Ageng, namun memiliki kedudukan utama di Keraton Yogyakarta karena fungsinya. Keterbatasan nada yang dipukul secara repetitif telah menghadirkan nuansa sakral pada setiap rangkaian upacara kerajaan. 

 


Daftar Pustaka:
KRT Widyacandra Ismayaningrat, dkk. 2016. Serial Khasanah Pustaka KHP Widyabudaya: Bab Kagungan Dalem Gangsa lan Ringgit. Yogyakarta: KHP Widayabudaya Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat
R.M. Soedarsono. 1997. Wayang Wong: Drama Ritual Kenegaraan di Keraton Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Wawancara dengan ML Susilomadyo pada November 2017
http://vetter.sites.grinnell.edu/gamelan/ diakses pada Januari 2018