Bedhaya Sinom

Bedhaya Sinom merupakan salah satu Yasan Dalem (karya) Sri Sultan Hamengku Buwono IX (1940-1988). Tari klasik Keraton Yogyakarta ini mengambil fragmen Serat Menak yang menggambarkan pertarungan antara Dewi Kuroisyin dari Ngajrak dan Dewi Widaningrum dari Tartaripura (Mongol). Alkisah, Dewi Widaningrum hendak membalas dendam atas kematian kakaknya, Dewi Adhaninggar, yang terjadi dalam peperangan melawan bala tentara Persia. Namun pada akhirnya, aksi balas dendam ini tidak berhasil. Dewi Widaningrum malah yang gugur setelah terkena panah rajut yang dilesatkan oleh Dewi Kuroisyin. 

Bedhaya Sinom dibawakan dengan anggun oleh sembilan penari putri. Satu penari yang berada di posisi batak berperan sebagai Dewi Kuroisyin dan satu penari di posisi endel pajeg berperan sebagai Dewi Widaningrum (Putri Cina). Selain itu, terdapat dua dhudhuk (peraga). Kedua dhuduk bertugas membawa properti atau perlengkapan yang digunakan dalam pertunjukan, yaitu jemparing (panah). 

Bedhaya Sinom 122022 01

Naskah Tari 

Catatan tentang Bedhaya Sinom terdapat dalam manuskrip di Perpustakaan Kawedanan Kridhamardawa. Bedhaya Sinom secara spesifik tercantum dalam manuskrip Serat Lampahing Beksa Bedhaya Sarta Srimpi dengan kode B/S 41 di halaman 75-82.  

Komposisi Tari

Dalam tari bedhaya, terdapat beberapa pola lantai dasar yang disebut rakit. Beberapa rakit tersebut antara lain rakit lajur, rakit ajeng-ajengan, rakit iring-iringan, rakit tiga-tiga, dan rakit gelar. Rakit gelar menjadi pola lantai yang menonjol karena menampilkan inti cerita pertunjukan bedhaya.

Dalam Bedhaya Sinom, rakit gelar memuat cerita pertarungan antara Dewi Kuroisyin dan Dewi Widaningrum. Dalam pola lantai ini, keduanya berada di tengah dan dikelilingi oleh tujuh penari lainnya dalam posisi jengkeng (level rendah). Dalam rakit ini, Dewi Kuroisyin dan Dewi Widaningrum saling beradu kekuatan dan berperang menggunakan jemparing. Penggunaan jemparing disebutkan dalam vokal sinden sebagai berikut.

Nulya samya nyandhak sara
Sigra yunayunan, ngembat jemparingnya
Lumesat lumepas.

(keduanya) sama-sama memegang panahnya
Segera mengayunkan dan menarik panah
Melesat dan lepas (panah).

Bedhaya Sinom 122022 05

Ragam Gerak

Bedhaya Sinom diawali dengan gerakan sembahan lalu dilanjutkan dengan posisi jengkeng menghadap ke kiri. Saat posisi jengkeng, para penari melakukan gerak rimong sampur, yaitu mengambil sampur lalu disampirkan ke punggung. 

Ragam gerak selanjutnya secara umum hampir sama dengan bedhaya yang lain, yaitu ngenceng encot, gudhawa asta minggah, mapan lampah semang, impang ngewer udhet, kengser tumpang tali, sedhuwa, kicat mandhe udhet, impang encot, mapan jengkeng ukel tawing, dan nglayang. 

Terdapat ragam gerak khusus untuk Dewi Widaningrum. Empat di antaranya adalah impang ngewer udhet, kicat tawing njimpit sampur, gerak sojah, dan glangsaran. Ragam gerak impang ngewer udhet, biasanya tangan berada pada posisi siku-siku. Namun khusus untuk Putri Cina, tangan tersebut berada pada posisi tawing, dekat dengan telinga. Ragam gerak selanjutnya adalah kicat tawing njimpit sampur. Ketika gerakan ini dilakukan, penari lain melakukan gerakan kicat mandhe udhet. Gerakan kicat tawing njimpit sampur juga dapat ditemui dalam tari Srimpi Teja yang mengisahkan peperangan antara Putri Cina Dewi Widaninggar melawan Dewi Rengganis.

Bedhaya Sinom 122022 06

Gerak selanjutnya adalah sojah. Sojah merupakan visualisasi Dewi Widaningrum yang sedang berdoa memohon keselamatan sebelum berperang melawan Dewi Kuroisyin. Gerakan ini dilakukan dalam posisi bersimpuh, diikuti kedua tangan yang diayunkan ke atas dan ke bawah.

Ragam gerak terakhir, glangsaran, menggambarkan kekalahan yang dialami Dewi Widaningrum setelah terkena panah yang dilesatkan oleh Dewi Kuroisyin. Gerak ini dilakukan dalam posisi bersimpuh, kemudian membungkuk seperti orang bersujud. Dalam gerak ini, Dewi Kuroisyin sebagai kubu yang menang melakukan gerakan kicat mengitari Dewi Widaningrum yang tengah meratapi kekalahannya.

Iringan Tari

Penamaan sinom dalam bedhaya ini merujuk dalam gendhing atau iringan tarinya, yaitu Gendhing Sinom. Rangkaian komposisi iringan Bedhaya Sinom dalam Uyon-uyon Hadiluhung 2 Januari 2023 sebagian besar berlaras Pelog Pathet Barang, antara lain sebagai berikut, Lagon Wetah, Gati Prasman untuk mengiringi penari kapang-kapang maju, Lagon Jugag, Sekar Ageng Candra Basengkara, Gendhing Sinom, Ladrang Sinom, Sekar Ageng Candra Wilasita, Ketawang Sita Mardawa, Lagon Jugag, Gati Buntal untuk mengiringi penari kapang-kapang mundur, dan ditutup dengan Lagon Jugag.

Bedhaya Sinom 122022 04

Properti Tari

Properti yang dipakai dalam tarian ini antara lain keris dan jemparing. Dua jemparing masing-masing digunakan oleh Dewi Widaningrum dan Dewi Kuroisyin sebagai senjata untuk berperang.

Busana dan Tata Rias

Secara umum, delapan penari Bedhaya Sinom mengenakan busana dan tata rias yang sama. Kelengkapan busana tersebut antara lain rompi beludru bersulam bordir keemasan dan nyamping dengan model seredan. Kepala menggunakan aksesori berupa jamang dengan hiasan bulu, sumping ron, subang, cundhuk mentul, jungkat, dan sanggul gelung sinyong. Aksesori lainnya adalah kelat bahu, kalung sungsun, slepe, gelang, dan sondher cindhe. Riasan yang dikenakan adalah rias jahitan yang membentuk garis memanjang dari kelopak mata hingga dekat telinga, sementara pipi depan telinga diberi hiasan godheg

Bedhaya Sinom 122022 03

Penari yang berperan sebagai Dewi Widaningrum mengenakan busana dan tata rias Putri Cina. Busana yang dikenakan berupa baju lengan panjang kerah tegak berbahan satin dan nyamping model seredan dengan sondher cindhe. Kepalanya mengenakan mahkota pupuk yang terbuat dari kain dan dihias koin manik-manik atau koin keemasan. Beberapa aksesori lain yang dikenakan adalah kelat bahu, gelang, subang, kalung, slepe, rambut panjang rajutan ekor kuda, dan selempang. Rias wajah di bagian mata ditegaskan dari ujung mata ke arah telinga untuk menonjolkan kesan sipit layaknya Putri Cina. 

Pada Uyon-uyon Hadiluhung 2 Januari 2023, para penari mengenakan busana gladhen (latihan) yaitu kampuh busana gladhi dengan motif parang plenik gendreh, nyamping motif parang klithik seling kawung serta sondher gendholo giri berwarna merah.

Bedhaya Sinom pernah direkonstruksi pada tahun 1984 oleh Jiyu Wijayanti, salah satu mahasiswi ASTI Yogyakarta (Akademi Seni Tari Indonesia, saat ini menjadi Institut Seni Indonesia). Pada tahun yang sama pula, bedhaya tersebut dipentaskan di Jakarta, tepatnya di Taman Ismail Marzuki. 

Selanjutnya, pada 16 Januari 1999, tarian ini ditampilkan di Pendapa Dalem Pudjokusuman untuk tujuan pendokumentasian. Selang satu tahun kemudian, tepatnya 2 Juli 2000, di Bangsal Kepatihan Yogyakarta, tarian ini kembali dipertunjukkan dalam acara “Pergelaran Tari Klasik Yogyakarta Mataraman” yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan DIY bekerjasama dengan UKM Tari Swagayugama UGM dan Festival Kesenian Yogyakarta. 

Bedhaya Sinom memiliki daya tarik visual dan artistik yang berbeda dari bedhaya lainnya. Jika biasanya sembilan penari bedhaya memiliki riasan dan bentuk kostum yang sama, penari Bedhaya Sinom tidak demikian. Tokoh Dewi Widaningrum menjadi peran sentral yang menonjol karena ditampilkan berbeda dengan kostum dan riasan Putri Cina. Kostum dan riasan Putri Cina tersebut lebih sering ditemui pada repertoar tari srimpi, misalnya Srimpi Muncar dan Srimpi Teja.


Daftar Pustaka:

Arif E Suprihono. 1995. Tari Srimpi: Ekspresi Budaya Para Bangsawan Jawa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Budi Astuti, Anna Retno Wuryastuti. 2012. “Bedhaya Sumreg Keraton Yogyakarta”. Jurnal Resital, Volume 13, Nomor 1, Hal 45-64.

Jennifer Lindsay, dkk. 1994. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 2: Kraton Yogyakarta. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Jiyu Wijayanti. 2003. “Bedhaya masa HB IX: Studi Kasus Bedhaya Sinom, Bedhaya Sapto, Bedhaya Wiwaha Sangaskara”. Penelitian. Tidak diterbitkan.  ISI Yogyakarta.

Kagungan Dalem Serat Lampahing Beksa Bedhaya Sarta Srimpi (B/S 41). Koleksi Perpustakaan Kawedanan Kridhamardawa, Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. 

MW Susilomadyo. 2022. Kagungan Dalem Serat Pasindhen Bedhaya Sinom (jugag) Laras Pelog Pathet Barang kangge Semuwan Uyon-Uyon Hadiluhung 2 Januari 2023. Yogyakarta: Kawedanan Kridhamardawa.

Raden H Abdussalam. 1978. Wawacan Rengganis. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Soedarsono. 1990. Wayang Wong: The State Ritual Dance Drama in The Court of Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sunaryadi. 2013. “Aksiologi Tari Bedhaya Kraton Yogyakarta”, Jurnal Kawistara, Volume 3, Nomor 3, Hal 227-334.

Wawancara: 

Wawancara dengan Nyi MW Wijayantisuryomatoyo pada 21 Agustus 2021.

Wawancara dengan Nyi RW Pujaningrum pada 20 Oktober 2021.

Wawancara dengan MJ Listyosumekto pada 21 Desember 2022.