Mas Bekel Ngabdul Wahab, Pemelihara Nilai-Nilai Islam Keraton Yogyakarta

Mas Bekel Ngabdul Wahab sebagai Abdi Dalem Kanca Kaji

Jiwa sosial yang tinggi membuat Noor Edy Hidayatullah tak pernah jauh-jauh dari dunia kemanusiaan dan kerelawanan. Inilah yang membuatnya memilih menjadi sukarelawan dan kemudian pegawai Palang Merah Indonesia (PMI) Yogyakarta. Tetapi mengapa ia juga terpanggil menjadi Abdi Dalem Kanca Kaji?

Kanca Kaji merupakan bagian yang menangani bidang keagamaan di Keraton Yogyakarta. Mereka terlibat dalam hampir semua upacara dan bertugas membacakan doa, baik yang berupa dawuh khusus dari Sultan atau yang merupakan bagian acara keraton secara umum. Selain itu mereka mengurus masjid-masjid keraton dan melaksanakan amalan-amalan kewajiban keraton.

Abdi Dalem Kanca Kaji melaksanakan caos (tugas) delapan hari sekali. Mereka bergantian menjalankan tugas menjaga dan merawat masjid, mengaji rutin, dan memimpin doa tasyakuran atau sedekah keraton. Mereka juga bertugas menjalankan ritual keagamaan di luar keraton yang secara rutin diselenggarakan di kediaman putra-putri Sultan.

Mas Bekel Ngabdul Wahab, demikian Asma Paring Dalem yang dianugerahkan pada Noor Edy, berminat menjadi Abdi Dalem karena dorongan mertuanya yang kebetulan juga Abdi Dalem. Latar belakang pendidikannya di pasentren membuatnya tergerak mengamalkan ilmunya dalam bidang syiar agama. “Karena sejak dulu saya belajar di pesantren, secara batin saya harus menjalankan dawuh para kiai saya untuk selalu berjuang di jalan agama,” jelasnya. Baginya bekerja sebagai sukarelawan PMI maupun Abdi Dalem Kanca Kaji sama-sama mengabdi. “Abdi Dalem jalurnya pengabdian juga, tetapi dengan unggah-ungguh budaya.”

Dari Pesantren ke Istana

Ngabdul Wahab menjalani pendidikan menengahnya di madrasah dan mondok di pesantren. Selepas itu ia kuliah di IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga jurusan peradilan agama. Hingga saat ini ia masih menjadi pengurus di pondok pesantren Nurul Ummah. Pria yang sudah menjadi relawan PMI sejak remaja ini diangkat sebagai Abdi Dalem pada 2013. Ia mengakui perannya sebagai karyawan PMI dan Abdi Dalem memang kontras. Di PMI ia berkutat dengan ambulans, tranfusi darah, hingga manajemen informasi data pendonor, sementara di keraton ia banyak menangani ritual agama dan budaya. Namun, ia menjaga agar keduanya selaras dan tidak tumpang tindih.

“Kalau bertugas di keraton saya tidak membawa atribut PMI dan di PMI saya tidak pernah cerita atau membawa atribut keraton,” tuturnya. Ia memang berhati-hati menjaga diri dan nama baik keraton. Ia mengaku tidak pernah mengumumkan diri sebagai Abdi Dalem. “Ya kalau (perilaku) saya sesuai dengan Abdi Dalem yang diharapkan. Kalau tidak, wah, saya malu sendiri.”

Selama menjalankan tugas sebagai Abdi Dalem, ia paling terkesan pada kehadiran Sultan dalam acara yang ia tangani. “Hajad Dalem apa pun yang beliau miyos, rasanya beda.” Ia menggambarkan adanya keinginan untuk memberikan yang terbaik untuk junjungan sekaligus kecemasan berbuat salah. “Tapi (rasanya) senang, mantep.”

1 G3 B2195
Mas Bekel Ngabdul Wahab memimpin doa

 

Nilai-nilai Islam di Keraton

Bicara sejarah, sejak awal pendiriannya, Keraton Yogyakarta memang merupakan kerajaan Islam. Hal ini secara fisik tercermin dalam masjid-masjid keraton, dan secara kultural mengejawantah dalam Hajad Dalem, terutama upacara-upara yang diselenggarakan untuk merayakan hari-hari besar Islam. Menurut Ngabdul Wahab semua upacara tradisional keraton hanya memiliki tiga tujuan; bersyukur, berdoa, dan bersedekah. Tidak ada satu pun yang menyangkut “klenik”. “Semua berlandaskan ajaran agama,” tegasnya.

Ngabdul Wahab merasakan tanggung jawab besar atas terjaganya suasana keislaman di lingkungan keraton dan terlihatnya nafas keislaman tersebut oleh dunia luar. Pria berputra tiga ini menyadari untuk mencapai tujuan itu para Abdi Dalem yang bertugas dalam bidang keagamaan harus memahami agama terlebih dahulu.

“Sering saya sampaikan ke teman-teman, keraton itu awalnya adalah kerajaan islam. Siapa yang bertugas yang mensyiarkan agama? Di antaranya adalah Kanca KajiKanca Suranata, dan tidak menutup kemungkinan Pengulon.”

Asma Paring Dalem untuk Sang Pemberi

Di mana kita berdiri, di situlah kita harus bisa memberi manfaat bagi orang lain. Itulah prinsip yang diyakini oleh Ngabdul Wahab dan ia tanamkan pada keluarganya. Beberapa orang mempertanyakan mengapa ia seakan-akan mau dimanfaatkan. “Ya, saya memang senang menolong. Menolong kan tidak harus dengan uang,” jelasnya.

Itulah mengapa ia rela saja mengurus orang sakit, korban bencana, bahkan menjadi koordinator lapangan pada setiap bencana di Yogyakarta. Ia memang memiliki sertifikat yang memungkinkannya memangku jabatan sepenting itu. Jadwal kerja tak menentu dan tak bertemu keluarga selama beberapa waktu kerap dijalaninya bila tugas memanggil.

Nama Ngabdul Wahab yang diberikan keraton seolah menjadi pertanda akan sifatnya yang ringan tangan. “Saya juga nggak tahu kok dapat nama itu. Tahu-tahu dikasih. Padahal arti Ngabdul Wahab itu adalah maha pemberi.” Ia bercerita awalnya ia memakai nama Ngabdul Syukur, namun begitu kekancingan keluar, nama yang ditetapkan untuknya adalah Ngabdul Wahab.

Seperti makna namanya yang tidak mementingkan diri sendiri, Ngabdul Wahab juga tak menginginkan kekayaan materi bagi anak-anaknya, termasuk ketiga keponakan yang ia asuh karena kehilangan orangtua mereka. “Harapan dan doa istri saya hanya agar mereka pintar dan sukses, bisa berjuang. Saya bilang pada mereka, silakan lanjutkan perjuangan, di mana berdiri di situ bisa bermanfaat pada orang lain.” Untuk yang satu ini, ia tidak hanya sekadar bicara, namun sudah memberikan contoh nyata.