Nyi Mas Bekel Penilaras, Dendang Keselarasan

“Saya hanya ingin menjadi orang yang bermanfaat.” Itulah angan-angan Siswati sejak kecil. Bahwa Siswati kemudian menebar manfaat lewat profesi sindhen tak pernah terlintas dalam benaknya. Padahal, sejak kecil sudah akrab dengan tembang-tembang Jawa karena Siswati cucu seorang dalang yang tenar di desanya. Ayahnya pun sering membuat wayang dan beberapa kali pentas sebagai dalang.

“Saya pertama kali masuk ke dunia seni suara kelas 1 SD, diminta ikut lomba macapat di tingkat Kabupaten Temanggung. Kebetulan dapat juara,” tutur perempuan yang memang berasal dari kota tembakau itu. Setelahnya, Siswati sering maju lomba macapat dan karawitan. “Saya didapuk jadi sindhen karena saya lantang. Bagusnya sih tidak, ya hanya modal lantang,” lanjutnya merendah.

Selepas SMP, Siswati memutuskan sekolah di SMKI Yogyakarta mengikuti sepupunya yang sudah lebih awal bersekolah di sana. Pilihan ini dipengaruhi pikiran praktis: ingin menghasilkan uang sambil bersekolah. Tujuannya pun sederhana, “Saya pengin membelikan kursi rumah karena kursinya reyot.”

Pilihan tersebut bukannya tak mendapat tentangan. “Mungkin karena bapak ibu saya melihat dunia seni itu tidak ada harapan.” Namun, tekad kuat dan kecintaan pada seni membuatnya tetap maju. “Saya masih ingat orang tua berkata, saya tidak menyuruh, tetapi juga tidak menghalangi. Silakan ambil konsekuensi atas pilihanmu.” Di situ Siswati merasa tertantang, “Saya harus bisa. Saya tidak ingin mengecewakan. Orang tua harus tahu yang baik-baik saja. Susahnya tidak usah.”

Nyi Mas Bekel Panilaras 02

 

Di sekolah seni itu bakatnya tertempa. Siswati berhasil mewujudkan impiannya mencari uang. Siswati masih ingat honor pertama yang diterima saat kelas 2 SMA. Uang sebesar 60 ribu yang didapat dari ikut nembang di radio Balai Budaya Minomartani membuatnya bersuka cita. Sejak itu Siswati mulai pentas dari panggung ke panggung hingga bisa membayar iuran kosnya sendiri. Lewat sekolah pula, Siswati mencicipi magang di Thailand selama satu bulan dan membuat orang tuanya yakin Siswati memang mampu bertanggung jawab. Kuliah di ISI Jurusan Karawitan juga Siswati biayai dengan hasil keringat sendiri.

Sindhen Keraton

Siswati bergabung ke divisi kesenian keraton, KHP Kridhomardhowo, pada 2014 setelah meraih gelar sarjana dan hendak melanjutkan studi S2. Awalnya Siswati diajak untuk berkontribusi ke keraton oleh Mas Penewu Susilomadya –Abdi Dalem Pengrawit di Kridhomardowo-- yang melihat potensinya saat menjadi peserta lomba Tembang Gembiraloka. Setelah menyelesaikan magang, perempuan ramah ini diwisuda sebagai Abdi Dalem dan mendapat nama Paring Dalem Nyi Mas Jajar Penilaras. Saat itu Nyi Penilaras adalah Abdi Dalem termuda.

Nyi Penilaras langsung terlibat dalam pagelaran seni di keraton. Padahal awalnya Nyi Penilaras ingin belajar terlebih dahulu, “Mbok saya mendengarkan dahulu. Jangan langsung disuruh (tampil). Tetapi akhirnya didhawuhi terus, ya sudah.” Wajar bila Nyi Penilaras tak butuh waktu lama untuk menyesuaikan diri karena sejak remaja sudah sering masuk ke keraton untuk pentas.

Menyelesaikan studi S2 dalam tiga tahun, Siswati diangkat menjadi dosen PNS di ISI Surakarta. Mulai saat itu, Siswati harus wira-wiri Yogya-Solo demi menjalankan tugas sebagai pengajar dan sindhen keraton. Itu belum termasuk pentas dan misi budaya yang Nyi Penilaras jalani hingga ke luar negeri, seperti Jepang dan Suriname.

“Saya lebih ke belajar karena saat itu pengin tahu lebih banyak tentang gendhing-gendhing gaya Yogyakarta,” ungkapnya mengenai motivasi bergabung sebagai Abdi Dalem. Baginya seseorang butuh mengalami dan mengamalkan untuk mendalami seni tembang Jawa ini. Keraton tempatnya mengabdi juga menjadi sumber ilmu.

Nyi Penilaras terpesona pada gendhing-gendhing gaya Yogyakarta yang lebih prasaja, namun sangat nyaman didengarkan. Karena juga mempelajari gendhing gaya Surakarta, Nyi Penilaras bisa membandingkan keduanya. “Karawitannya lebih maskulin Yogya. Sindhenan-nya lebih sederhana, tidak begitu banyak ornamen, tetapi tetap apik, anggun dengan keindahannya masing-masing. Secara bentuk (Yogya) lebih simpel. Surakarta lebih riang, lebih segar, dan feminin cengkok-cengkoknya.”

Jangkung Kuning merupakan salah satu gendhing favoritnya. “Dari alur melodi (gendhing ini seumpama) perempuan yang dipoles prasaja saja sudah cantik. Kendhangan-nya menggerakkan, pokoknya rasanya pengin njoged.”

Tak terhitung berapa pentas yang sudah dijalani perempuan periang ini. Nyi Penilaras pun kesulitan untuk menentukan mana yang paling berkesan, namun salah satunya adalah saat pertunjukan Beksan Lawung dalam rangka Tingalan Jumenengan Dalem Sri Sultan Hamengku Buwono X pada 2019. Nyi Penilaras merasakan energi yang luar biasa hingga merinding saat latihan.

Selain di keraton dan di kampus, Nyi Penilaras terlibat dalam seabrek kegiatan yang kebanyakan berhubungan dengan seni tradisi, seperti menjadi narasumber di Festival Kesenian Yogyakarta dan Yogya Gamelan Festival, menjadi juri berbagai lomba macapat, serta terlibat kepanitiaan acara-acara seni. Kegiatan sosial juga Nyi Penilaras jalani, seperti penggalangan donasi untuk mereka yang membutuhkan. Nyi Penilaras suka membaca, mengumpulkan prangko atau uang kuno, namun tidak pernah memaksakan diri. Semua Nyi Penilaras jalani dengan sesuai kemampuannya.

Kembali pada Keselarasan

Selama mengabdi di keraton, Nyi Penilaras mengaku mendapat banyak nilai-nilai luhur yang berharga untuk pengembangan diri. “Yang paling saya rasakan kita kembali ke asal. Dengan bertelanjang kaki kita kembali merasakan kerasnya tanah, lembutnya pasir.” Di keraton, Abdi Dalem memang harus melepas alas kaki. Perasaan lebih dekat ke alam ini rupanya membuat Nyi Penilaras lebih tenteram dan tenang.

Nyi Penilaras juga merasa lebih semeleh, “Saya niteni, ini yang saya rasakan, ketika mau pertunjukan dan punya tendensi aku ingin apik, hasilnya malah ambyar. Namun, ketika ikhlas, tidak mikir aku kudu apik, itu malah lancar. Dan tatarannya (cukup) sampai lancar. Itu untuk menekan rasa arogan, rasa serakah.”

Nilai lain yang Nyi Penilaras pelajari adalah keseimbangan. Ini terbentuk dari kebiasaan menjaga keterpaduan dengan sindhen lain. “Kalau saya bisa mendengarkan yang lain berarti saya cukup. Kalau tidak bisa, berarti saya berlebihan. Fokusnya bukan menonjolkan diri.”

Mengakrabi Budaya Sendiri

“Janganlah asing dengan budaya sendiri.” Demikian pesan Nyi Penilaras untuk generasi muda. Nyi Penilaras prihatin bila ada anak muda Yogya yang tidak paham bahasa Jawa. Nyi Penilaras mengajak untuk kembali mengakrabi ‘diri kita sendiri’ sebagai orang Jawa dan orang Indonesia. Baginya sikap seperti itu sangatlah penting karena di mana bumi dipijak, di situ langit harus dijunjung.

Nyi Penilaras telah berbuat nyata dan berkeinginan untuk berbuat lebih. Nyi Penilaras sudah menulis beberapa jurnal tentang persindenan Yogyakarta, namun masih ingin menerbitkan buku karena bahan literasi tentang kesenian tradisi ini masih sangat terbatas. Ini berpusat kembali pada idealismenya untuk bermanfaat, namun tetap menjadi dirinya sendiri. “Dengan porsi saya ini, saya bisa tetap bermanfaat terutama dengan ilmu. Kalau uang saya tidak punya uang. Saya juga masih belajar tetapi senang jika bisa membagikan dan orang lain bisa mengambil manfaat dari saya. Ada kepuasan.”

Dukungan keluarga senantiasa Nyi Penilaras dapatkan. Orang tuanya bangga Nyi Penilaras berkarya di keraton. “Syukurlah kamu di sana, nunut ngayom men ayemUnggah-ungguhe sing apik, dijaga,” tutur Nyi Penilaras mengutip perkataan orang tuanya.

Untuk itulah Nyi Penilaras selalu berharap Keraton Yogyakarta tetap rahayu, ngayomi, dan ngayemi untuk siapa pun juga.