Motif Batik Larangan Keraton Yogyakarta

Batik larangan Keraton Yogyakarta, atau kadang disebut Awisan Dalem, adalah motif-motif batik yang penggunaannya terikat dengan aturan-aturan tertentu di Keraton Yogyakarta dan tidak semua orang boleh memakainya.

Keyakinan akan adanya kekuatan spiritual maupun makna filsafat yang terkandung dalam motif kain batik menjadi salah satu hal yang melatarbelakangi adanya batik larangan di Yogyakarta. Motif pada batik dipercaya mampu menciptakan suasana yang religius serta memancarkan aura magis sesuai dengan makna yang dikandungnya. Oleh karena itu beberapa motif, terutama yang memiliki nilai falsafah tinggi, dinyatakan sebagai batik larangan.

Adapun yang termasuk batik larangan di Keraton Yogyakarta antara lain Parang Rusak Barong, Parang Rusak Gendreh, Parang Klithik, Semen Gedhe Sawat Gurdha, Semen Gedhe Sawat Lar, Udan Liris, Rujak Senthe, Parang-parangan, Cemukiran, Kawung, dan Huk.

Setiap Sultan yang sedang bertahta memiliki kewenangan untuk menetapkan motif batik tertentu ke dalam batik larangan. Parang Rusak adalah motif pertama yang dicanangkan sebagai pola larangan di Kesultanan Yogyakarta oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I pada 1785.

Saat pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII, batik larangan ditekankan pada motif huk dan kawung.

Huk

Motif Huk

Motif huk terdiri dari motif kerang, binatang, tumbuhan, cakra, burung, sawat (sayap), dan garuda. Motif kerang bermakna kelapangan hati, binatang menggambarkan watak sentosa, tumbuhan melambangkan kemakmuran, sedangkan sawat ketabahan hati. Motif ini dipakai sebagai simbol pemimpin yang berbudi luhur, berwibawa, cerdas, mampu memberi kemakmuran, serta selalu tabah dalam menjalankan pemerintahannya.

Motif ini hanya boleh dikenakan oleh raja dan putra mahkota.

Kawung Alit Gurdha

Motif Kawung

Motif kawung merupakan pola geometris dengan empat bentuk elips yang mengelilingi satu pusat. Bagan seperti ini dikenal dalam budaya Jawa sebagai keblat papat lima pancer. Ini dimaknai sebagai empat sumber tenaga alam atau empat penjuru mata angin.

Pendapat lain mengatakan kawung menggambarkan bunga lotus atau teratai yang sedang mekar. Bunga teratai sendiri digunakan sebagai lambang kesucian. Motif kawung juga sering diartikan sebagai biji kawung atau kolang-kaling, buah pohon enau atau aren yang sangat bermanfaat bagi manusia. Untuk itu pemakai motif ini diharapkan dapat bermanfaat bagi lingkungannya.

Motif ini boleh dipakai oleh para Sentana Dalem.

My Post

Motif Parang

Pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VIII bertahta (1921-1939), motif parang dan variasinya menjadi batik larangan yang sangat ditekankan di Keraton Yogyakarta. Penggunaannya secara khusus tertuang dalam “Rijksblad van Djokjakarta” tahun 1927, tentang Pranatan Dalem Bab Jenenge Panganggo Keprabon Ing Keraton Nagari Yogyakarta.

Ada dua versi dalam pemaknaan motif parang ini. Rouffaer dan Joynboll mengatakan motif ini berasal dari pola bentuk pedang yang biasa dikenakan para ksatria dan penguasa saat berperang . Ksatria yang mengenakan motif ini diyakini bisa berlipat kekuatannya.

Versi lain mengatakan, motif parang ini diciptakan Panembahan Senapati saat mengamati gerak ombak Laut Selatan yang menerpa karang di tepi pantai. Sehingga pola garis lengkungnya diartikan sebagai ombak lautan yang menjadi pusat tenaga alam. Dalam hal itu yang dimaksud adalah kedudukan raja. Komposisi miring pada motif parang ini juga menjadi lambang kekuasaan, kebesaran, kewibawaan, dan kecepatan gerak.

Ketentuan tersebut berupa aturan penggunaan batik larangan dalam nyamping/bebet dan kampuh/dodot. Dalam nyamping/bebet aturan penggunaan batik larangan adalah sebagai berikut :

  1. Parang Rusak Barong ukuran lebih dari 10 cm hingga tak terbatas hanya boleh dikenakan oleh raja dan putra mahkota.
  2. Parang Barong ukuran 10 – 12 cm dipakai oleh putra mahkota, permaisuri, Kanjeng Panembahan dan istri utamanya, Kajeng Gusti Pangeran Adipati dan istri utamanya, putra sulung sultan dan istri utamanya, putra-putri sultan dari permaisuri, dan patih.
  3. Parang Gendreh ukuran 8 cm dipakai oleh istri sultan (ampeyan dalem), istri putra mahkota, putra-putri dari putra mahkota, Pangeran Sentana, para pangeran dan istri utamanya.
  4. Parang Klithik ukuran 4 cm ke bawah dipakai oleh putra ampeyan Dalem, dan garwa ampeyan (selir putra mahkota), cucu, cicit/buyut, canggah, dan wareng .

Dan untuk pemakaian kampuh/dodot aturannya adalah sebagai berikut:

  1. Motif Parang Barong dikenakan oleh sultan, permaisuri dan istri utama, putra mahkota, putri sulung sultan, Kanjeng Panembahan, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati, putra sulung sultan dan istri utamanya.
  2. Kampuh Gendreh dipakai oleh putra-putri sultan dari permaisuri dan garwa ampeyan, istri (garwa ampeyan), putra-putri dari putra mahkota, Pangeran Sentono, istri utama para pangeran, dan patih.
  3. Bebet Prajuritan (kain batik untuk kelengkapan busana keprajuritan), yang boleh mengenakan sama dengan ketentuan pemakaian kampuh.
  4. Kampuh Parang Rusak Klithik dipakai untuk istri dan garwa ampeyan putra mahkota.
Semen Ageng Sawat Gurdha

Motif Semen

Motif batik larangan lainnya adalah semen yang berkonotasi “semi” atau “tumbuh”. Motif semen memiliki makna kesuburan, kemakmuran, dan alam semesta. Dalam motif semen terdapat gambar lain berupa gunung atau meru, garuda, sayap, candi, dan naga. Pemakai motif semen diharapkan dapat menjadi pemimpin yang mampu melindungi bawahannya.

Aturan pemakaian motif semen juga tertuang dalam Pranatan Dalem, yaitu sebagai berikut:

  1. Kampuh motif Semen Gedhe Sawat Gurdha dipakai untuk cucu sultan, istri para pangeran, penghulu, Wedana Ageng Prajurit, Bupati Nayaka Lebet, Bupati Nayaka Njawi, Bupati Patih Kadipaten, Bupati Polisi, Pengulu Landraad, Wedana Keparak Para Gusti ( Nyai Riya), Bupati Anom, serta Riya Bupati Anom.
  2. Kampuh Semen Gedhe Sawat Lar dipakai untuk buyut dan canggah sultan.

Ada satu pengecualian dalam pemakaian motif semen. Motif semen tanpa lukisan meru, garuda (sawat), dan sayap (lar), boleh dipakai siapa saja tanpa harus memperhitungkan garis keturunannya.

Motif Cemukiran

Motif cemukiran berbentuk lidah api atau sinar. Api adalah unsur kehidupan yang melambangkan keberanian, kesaktian, dan ambisi. Pola seperti sinar diibaratkan pancaran matahari yang melambangkan kehebatan dan keagungan. Baik api maupun sinar dalam konsep Jawa diibaratkan sebagai mawateja atau bersinar seperti wahyu, yaitu salah satu kriteria yang harus dimiliki seorang raja.

Motif ini hanya boleh dikenakan oleh raja dan putra mahkota.

 

Rujak Senthe

Motif Udan Liris

Selanjutnya adalah motif udan liris yang diartikan sebagai hujan gerimis atau hujan rintik-rintik pembawa kesuburan bagi tumbuhan dan ternak. Udan Liris merupakan gabungan dari bermacam-macam motif dalam bentuk garis-garis sejajar. Terdiri dari motif lidah api, setengah kawung, banji sawut, mlinjon, tritis, ada-ada, dan untu walang yang diatur memanjang diagonal. Makna dari motif ini adalah pengharapan agar pemakainya selamat sejahtera, tabah, dan berprakarsa dalam menunaikan kewajiban demi kepentingan nusa dan bangsa.

Motif ini boleh dikenakan oleh putra dari garwa ampeyan, wayah, buyut, canggah, Pangeran Sentana dan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom.

Budaya Jawa memandang semua yang melekat pada diri, termasuk busana, mencerminkan kapasitas diri. Penggunaan batik larangan merupakan salah satu contohnya. Aturan ini lebih dari sekadar simbol status. Batik larangan juga merupakan sebuah komunikasi politik atau pesan kepemimpinan terhadap sesama penguasa, rakyat, dan juga terhadap lawan politik.

Aturan-aturan penggunaan batik larangan ini masih berlaku hingga sekarang, namun hanya diterapkan secara terbatas di lingkungan Keraton Yogyakarta, tidak untuk masyarakat umum di luar keraton.


Daftar Pustaka:
Adi Kusrianto. 2013. Batik – Filosofi, Motif, dan Kegunaan. Yogyakarta : Andy Offset.
Anindito Prasetyo. 2010. Batik – Karya Agung Warisan Budaya Dunia. Yogyakarta: Pura Pustaka.
Anik Handajani dan Eri Ratmanto. Batik Antiterorisme : Media Komunikasi Upaya Kontra-Radikalisasi Melalui Pendidikan dan Budaya. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Mari Condronegoro. 2010. Memahami Busana Adat Kraton Yogyakarta. Yogyakarta : Yayasan Pustaka Nusatama.
Mari Condronegoro, dkk. 2014. Busana Adat dan Tata Rias Tradisional Gaya Yogyakarta. Yogyakarta