Tari Klasik di Keraton Yogyakarta

Seni tari menempati posisi sangat terhormat di Keraton Yogyakarta. Sejarah seni tari gaya Yogyakarta membentang sepanjang sejarah kesultanan ini sendiri. Keberadaannya menyatu dengan dinamika kehidupan di keraton dan menjadi pegangan hidup para pelakunya.

Sejarah Singkat Tari Klasik Gaya Yogyakarta

Tari klasik gaya Yogyakarta telah ada sejak berdirinya Kesultanan Yogyakarta. Perjanjian Giyanti yang membagi Kerajaan Mataram menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta tidak hanya membagi wilayah, namun juga membagi khazanah budaya. Salah satunya adalah seni tari. Kesunanan Surakarta menciptakan corak tari gaya baru sedangkan Kesultanan Yogyakarta melanjutkan dan mengembangkan gaya tari yang sudah ada. Oleh karena itulah tari klasik gaya Yogyakarta juga disebut sebagai Joged (tari) Mataram.

Sri Sultan Hamengku Buwono I bukan sekadar mencintai seni tari, namun ia juga merupakan penari yang handal. Semasa ia memerintah, ia menciptakan beragam tarian seperti Beksan Lawung, Beksan Etheng, dan dramatari Wayang Wong.

Tari-tari tersebut awalnya tumbuh dan diajarkan di dalam lingkup tembok keraton. Baru pada 17 Agustus 1918, tari klasik gaya Yogyakarta mulai diperkenalkan keluar dari keraton dengan ditandai berdirinya perkumpulan Krida Beksa Wirama. Perkumpulan ini didirikan oleh dua putera Sri Sultan Hamengku Buwono VII dan mendapat restu dari Sultan sendiri.

Bentuk dan Ragam Perwatakan Tari Klasik Gaya Yogyakarta

Bentuk karakter dalam tari klasik gaya Yogyakarta dapat dibagi menjadi halus (alusan), gagah (gagahan), dan kasar. Bentuk halus dapat dibagi lagi menjadi halus luruh yang memiliki gerakan lembut dan pelan, halus mbranyak yang dinamis, dan tumanduk yang ada diantara luruh dan mbranyak. Bentuk gagah dapat dibagi menjadi gagah lugu yang tampak bersahaja, dan gagah kongas yang penuh kebanggaan. Sedang bentuk kasar dapat dibagi menjadi kasar kesatria dan kasar raksasa.

Ragam perwatakan tari klasik gaya Yogyakarta diambil dari perwatakan karakter-karakter yang ada di wayang kulit. Pola gerak untuk karakter putri hanya satu, yaitu ngenceng encot atau nggruda. Sedang untuk karakter putra, ada empat ragam pokok yang disebut impur, kambeng, kalang kinantang, dan bapang.

Impur berkarakter halus . Kambeng berkarakter putra gagah. Keduanya digunakan untuk menggambarkan watak sederhana, tidak banyak tingkah, dan penuh percaya diri. Kalang kinantang berkarakter halus dan gagah, digunakan untuk menggambarkan watak keras, angkuh, dan dinamis. Bapang berkarakter gagah dan kasar, digunakan untuk menggambarkan watak sombong sekaligus banyak tingkah.

Selain hal-hal di atas, dikenal juga istilah wanda yang menunjukkan ekspresi dan raut muka yang menggambarkan watak dan suasana hati seorang tokoh. Biasanya, tiap tokoh memiliki tiga macam wanda. Misalnya tokoh Kresna yang memiliki wanda mangu, gendreh, dan gidrah. Mangu untuk menunjukkan wibawa, gendreh saat menunjukkan kepandaian bicara, dan gidrah saat adegan perang atau terbang.

Pedoman Baku Tari Klasik Gaya Yogyakarta

Terdapat tujuh pedoman atau pathokan baku yang harus ditaati oleh penari klasik gaya Yogyakarta agar dapat membawakan tariannya secara maksimal. Pedoman-pedoman ini pula yang membedakan tari klasik gaya Yogyakarta dengan gaya-gaya tari lainnya. Pedoman tersebut berkenaan dengan pandengan, pacak gulu, deg, gerak cethik, mlumahing pupu, nyeklenthing-nya jari-jari kaki, dan mendhak.

Pandengan atau pandangan memiliki peran penting dalam mencerminkan karakter dan suasana jiwa tokoh yang dibawakan. Dalam tari klasik gaya Yogyakarta, dibutuhkan pandengan yang terarah dan tidak banyak berkedip. Pandengan membentuk polatan atau ulat (mimik) sekaligus mewujudkan pasemon atau pancaran jiwa.

Pacak gulu adalah gerak indah pada leher. Gerak ini berpangkal pada gerak menekuk dan mendorong pangkal leher (jiling), gerak ini juga dikenal dengan sebutan pacak gulu tekuk jiling. Ada empat macam gerak pacak gulu. Pacak gulu baku, tolehan biasa dan nglenggot, coklekan yang digunakan dalam tari golek, cantrik, dan kera, dan terakhir gedheg yang digunakan untuk gagahan.

Deg adalah sikap badan yang tegak lurus namun pundak dan tulang belakang tetap rileks, tidak tegang ataupun lemas.

Gerak cethik menjadi pedoman bagi gerakan tubuh ke samping maupun ke bawah. Dalam gerakan tersebut, cethik atau pangkal paha menjadi pusat gerakan oyogan (ke kiri atau kanan) dan mendhak (ke bawah). Mlumahing pupu penting agar gerakan tari tampak luwes dan stabil.

Mlumahing pupu berarti membuka posisi paha agar cethik dapat digerakkan dengan baik.

Nyeklenthing-nya jari-jari kaki adalah posisi di mana jari-jari kaki diangkat tegak ke atas dalam keadaan tegang. Posisi ini mampu mempengaruhi seluruh gerakan badan dan membuat kaki dapat menapak menapak lebih kokoh.

Mendhak adalah posisi tubuh yang merendah dengan cara menekuk lutut dan dilakukan dengan posisi paha terbuka. Posisi ini menghasilkan gerakan kaki yang lebih hidup dan ruang gerak yang lebih luas.

Img 0090

Salah satu jenis Beksan Mataraman

 

Ragam Tari Klasik Gaya Yogyakarta

Tari yang lahir dan berkembang di dalam keraton dapat dibagi dalam beberapa kategori seperti tari tunggal, Beksan, Srimpi, dan Bedhaya. Tari tunggal dibawakan hanya oleh seorang penari, seperti tari Klana Raja, tari Klana Alus, dan tari Golek.

Beksan, yang sebenarnya juga berarti “tari”, dapat dibagi menjadi Beksan Petilan yang dilakukan berpasangan dan Beksan Sekawanan yang didukung empat penari atau kelipatannya. Ada berbagai macam beksan, seperti Beksan Lawung, Beksan Anglingkusuma, Beksan Jangerana, dan Beksan Panji Ketawang. Di antara tarian tersebut, Beksan Lawung menempati posisi khusus karena ditempatkan sebagai tari kenegaraan. Bahkan keberadaannya dianggap sebagai wakil dari Sultan saat ada resepsi perkawinan agung di Kepatihan.

Tari Srimpi adalah tarian lemah gemulai yang biasanya ditarikan oleh empat penari, kecuali Srimpi Renggowati yang ditarikan oleh lima orang. Ada berbagai macam tari srimpi seperti Srimpi Pandelori, Srimpi Jebeng, Srimpi Muncar, dan Srimpi Pramugari.

Tari Bedhaya dibawakan oleh sembilan penari, dibandingkan dengan ragam lainnya, tari ini dianggap lebih tua dan sakral. Terdapat beberapa tari Bedhaya seperti Bedhaya Semang, Bedhaya Bedah Madiun, Bedhaya Sinom, dan Bedhaya Tirta Hayuningrat.

Di antara tari-tari tersebut, terdapat dua tarian yang dianggap sakral dan hanya boleh ditampilkan pada saat-saat tertentu. Keduanya adalah Srimpi Renggowati dan Bedhaya Semang. Selain itu juga terdapat dua genre dramatari, Wayang Wong dan Golek Menak. Wayang Wong mengacu pada wayang kulit sedang Golek Menak mengacu pada wayang golek yang terbuat dari kayu.

Falsafah dalam Tari Klasik Gaya Yogyakarta

Tari klasik gaya Yogyakarta atau Joged Mataram tidak sekadar dipahami sebagai seni olah tubuh namun juga dimaknai sebagai falsafah hidup. Jiwa dari Joged Mataram diungkapkan ke dalam empat unsur, sawiji, greged, sengguh, dan ora mingkuh. Keempat unsur ini tidak hanya diajarkan dalam seni tari, namun juga dihidupkan sebagai karakter rakyat Yogyakarta.

Sawiji berarti fokus, konsentrasi penuh namun tanpa ketegangan. Greged dapat diartikan sebagai semangat yang terkendali, kesungguhan untuk mencapai tujuan. Sengguh berarti rasa percaya diri tanpa kesombongan. Ora mingkuh dapat diartikan sebagai ketangguhan, tetap bertanggung jawab dan tidak berkecil hati saat menghadapi kesukaran-kesukaran.

Tari klasik gaya Yogyakarta memiliki ragam gerak berupa simbol yang diungkapkan melalui stilirisasi karakter yang dibawakan. Tari ini menekankan pada penjiwaan karakter yang dibawakan sehingga muncul istilah jogedan dan anjoged. Jogedan baru sebatas menggerak-gerakkan badan sekadar mengikuti hafalan. Sementara Anjoged dapat diartikan sebagai menari dengan penuh keyakinan, dengan gerakan-gerakan yang indah dan mantap, bahkan termasuk ketika penari sedang diam tak bergerak.

 

Gladi Beksan di Bangsal Kasatriyan

Daftar pustaka:
BPH Suryobrongto. 1976. Ceramah Tentang Tari Klasik Gaya Yogyakarta. Yogyakarta: Museum Kraton Yogyakarta
Dewan Kesenian Propinsi DIY. 1981. Mengenal Tari Klasik Gaya Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen P & K
Djoko Dwiyanto, dkk. 2009. Ensiklopedi Kraton Yogyakarta. Yogyakarta: Dinas Kebudayaan Provinsi DIY Fred Wibowo. 2002. Tari Klasik Gaya Yogyakarta. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
R.M Pramutomo. 2009. Tari, Seremoni, dan Politik Kolonial I & II. Solo: ISI Press
R.M. Soedarsono. 1997. Wayang Wong: Drama Ritual Kenegaraan di Keraton Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press