Langen Mandra Wanara

Langen Mandra Wanara adalah salah satu genre drama tari Jawa yang diciptakan oleh KPH Yudonegoro III pada sekitar tahun 1890. Drama tari yang mengambil cerita Ramayana ini berkembang di kompleks Kepatihan. Gerakannya dibawakan dengan joged jengkeng (posisi duduk di atas kaki) dan dialognya dinyanyikan dengan tembang macapat.

KPH Yodunegoro III adalah menantu Sri Sultan Hamengku Buwono VII sekaligus Patih Dalem yang bergelar KPAA Danurejo VII. Saat masih belia, KPH Yudonegoro III sangat menggemari kesenian drama tari rakyat Srandul yang mengambil lakon dari Serat Menak. Namun KPH Yudonegoro II, selaku ayah KPH Yudonegoro III, nampaknya kurang berkenan jika putranya hanya menggeluti seni kerakyatan. KPH Yudonegoro II kemudian menyarankan agar KPH Yudonegoro III menggarap seni pertunjukan bercorak istana dengan mengambil lakon dari epos Ramayana.

Langen Mandra Wanara 2

KPH Yudonegoro III berusaha memenuhi keinginan ayahnya walau ia tidak suka dengan aturan-aturan baku dalam seni pertunjukkan istana. Tanpa mengesampingkan suatu larangan yang berlaku di dalam kraton, KPH Yudonegoro III kemudian meniru seni pertunjukkan Langendriya yang lebih dulu ada. Dengan mengacu pada konsep dan pola penyajian Langendriya yang dipadukan dengan pola penyajian kesenian rakyat, drama tari Langen Mandra Wanara tampil dengan unik.

Langen Mandra Wanara terdiri dari tiga kata, yaitu Langen yang berarti hiburan atau bersenang-senang, Mandra berarti banyak dan Wanara adalah kera. Pada awal perkembangannya, pertunjukkan Langen Mandra Wanara ditandai dengan penampilan penari wanara (kera) dalam jumlah banyak. Berbeda dengan banyak kesenian yang muncul di keraton, Langen Mandra Wanara memang difungsikan sebagai hiburan rakyat.

 

Perpaduan antara Seni Rakyat dan Istana

Langen Mandra Wanara memiliki ragam gerak tari yang dibawakan dalam posisi joged jengkeng, yaitu dengan cara berjongkok menggunakan lutut sebagai peyangga dalam gerak gerik tari. Sedikit berbeda dari Langendriya yang walau sama-sama menggunakan joged jengkeng, jengku (lutut) penari Langen Mandra Wanara berada dalam posisi menyentuh lantai. Teknik ini sengaja diciptakan dengan maksud tidak menyamai drama tari Wayang Wong Keraton Yogyakarta yang dibawakan sambil berdiri.

Dialog yang digunakan dalam Langen Mandra Wanara menggunakan tembang macapat yang dibawakan dalam bentuk Lampah Sekar Gendhing dan Rambangan. Iringan musik Langen Mandra Wanara menggunakan seperangkat gamelan laras slendro dan laras pelog dengan gendhing-gendhing yang merujuk suasana adegan yang dimainkan. Cerita yang dibawakan mengambil sumber dari epos Ramayana. Adapun lakon yang biasa ditampilkan antara lain; Sinta Ilang, Subali Lena, Anggada Duta, Senggana Duta, Wibisana Tundhung, Wibisana Balik, Rama Tambak, Kumbakarna Gugur, dan lain sebagainya. Di samping itu, lakon juga mengambil cerita Lokapala, dengan lakon Sumantri Ngenger dan Bedhahing Lokapala.

Langen Mandra Wanara 3

Daya tarik Langen Mandra Wanara muncul dari perpaduan nilai keagungan istana dengan nilai kerakyatan. Hal ini terlihat dalam penyajian yang dinamis dan teratur, ungkapan dialog yang halus dan penuh nilai sastra, namun secara terkendali menampung unsur urakan yang ditampilkan saat senggakan berupa luapan kata-kata spontan untuk menyela dialog tembang. Unsur keplok alok dalam pertunjukan Langen Mandra Wanara ditampilkan dengan tepuk tangan bernada yang dilakukan secara spontan pada saat tertentu, khususnya saat adegan yang bersifat santai, riang, dan gembira. Semangat kerakyatan Langen Mandra Wanara ditampilkan secara kental sehingga memang kadang tampak lekoh dan kasar.

Secara umum tata busana penari Langen Mandra Wanara mengacu pada tata busana penari Wayang Wong. Penari putra menggunakan ikat kepala berbentuk tepen, kalung, kelat bahu, kaweng, kamus timang, keris, sampur, jarik, dan celana panji. Penari putri menggunakan kain semekan, slepe, sampur, gelung kondhe, ceplok jebehan, sangsangan, dan sengkang. Penerapan tata rias Langen Mandra Wanara juga mengacu pada tata rias Wayang Wong

Tokoh-tokoh yang muncul dalam Langen Mandra Wanara secara garis besar berkarakter putra gagah, putra halus, karakter putri, karakter raksasa, dan karakter kera. Terdapat pula peran Dalang yang bertugas menguasai jalan cerita, memahami gendhing, dan menghidupkan jalannya setiap adegan. 

 

Perkembangan Langen Mandra Wanara 

Pada awalnya latihan dan pertunjukkan Langen Mandra Wanara digelar di halaman Dalem Yudanegaran, kediaman KPH Yudonegoro III. Namun sejak beliau diangkat menjadi Patih Dalem dengan gelar KPAA Danurejo VII, segala aktifitas pertunjukkan Langen Mandra Wanara berpindah ke Kepatihan Danurejan. Pertunjukkan tersebut rupanya mendapat perhatian luar biasa dari kalangan masyarakat luas sehingga memunculkan kelompok-kelompok lain yang turut berjasa dalam pertumbuhan dan perkembangan Langen Mandra Wanara, seperti di kampung Notoyudan, Condronegaran, Kumendaman, Sosrowijayan, Tegalgendu, dan Perkumpulan Mardi Guna di bawah pimpinan KRT Jayadipura. Langen Mandra Wanara meluas hingga wilayah Kabupaten Bantul seperti Sembungan, Sawahan, dan Pundong. Bahkan di Kabupaten Sleman, tepatnya di Desa Morangan, masyarakat mengembangkan kesenian sejenis Langen Mandra Wanara dengan sebutan Langen Purba Wanara.

Langen Mandra Wanara 5

Perkembangan Langen Mandra Wanara mulai terhenti sekitar tahun 1930. Langen Mandra Wanara semakin jarang dipentaskan. Kemunduran ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain disebabkan meningkatnya perhatian masyarakat terhadap Wayang Wong yang sedang digalakkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII pada saat itu, sekaligus menurunnya  perekonomian yang berimbas terhadap daya dukung kesenian. Pengaruh paling besar terjadi saat pendudukan Jepang di mana Sri Sultan Hamengku Buwono IX menghapus jabatan Pepatih Dalem. Dengan beralih fungsinya Dalem Kepatihan, maka kegiatan pelatihan Langen Mandra Wanara di sana menjadi berhenti total. Nasib kesenian ini kemudian sepenuhnya berada di kelompok-kelompok kesenian yang ada di masyarakat.

Meski tidak mengubah inti cerita maupun dialog, Langen Mandra Wanara kemudian berubah menjadi lebih ringkas dan padat. Penyajian tari dilakukan secara fleksibel dengan joged jengkeng atau joged ngadeg (posisi berdiri). 

Sepanjang perjalanannya, Langen Mandra Wanara tumbuh menjadi jembatan antara keagungan corak seni istana yang diwarnai oleh pengendalian sikap adiluhung dengan seni kerakyatan yang sederhana namun lugas penuh hentakan semangat. Perpaduan ini melahirkan satu bentuk kesenian yang berkelas sekaligus kental dengan semangat kerakyatan. Maka wajar saja apabila pada masanya kesenian ini sangat populer dan digemari masyarakat luas.

Langen Mandra Wanara 7

 


Daftar Pustaka:
Bambang Pudjasworo. 2014. Opera Tari Jawa Gaya Yogyakarta Langen Mandra Wanara. Yogyakarta: Dinas Kebudayaan DIY
Ben Soeharto. 1999. Langen Mandra Wanara: Sebuah Opera Jawa. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia
Dewan Kesenian Propinsi DIY. 1981. Mengenal Tari Klasik Gaya Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen P & K
Wawancara RM Pramutomo pada 27 Juli 2018
Wawancara RM Kristiadi pada 28 Juli 2018