Gendhing Gati Mardika

Gendhing Gati mencapai puncak perkembangannya pada era Sri Sultan Hamengku Buwono VIII (1921-1939). Sekitar 48 gendhing telah diciptakan. Setelah era Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, tidak ada penciptaan Gendhing Gati di lingkungan Keraton Yogyakarta. Hal ini kemudian membuat Sri Sultan Hamengku Buwono X memprakarsai Gendhing Gati Yasan Dalem yang baru.

Berawal dari Paring Dawuh Sri Sultan Hamengku Buwono X kepada KPH Notonegoro, Penghageng KHP Kridhomardowo, untuk menggiatkan penyusunan Gendhing Gati Yasan Dalem dalam rangka menyambut hari kemerdekaan ke-75 Republik Indonesia. 

KPH Notonegoro kemudian nimbali (memanggil) Abdi Dalem MW Susilomadyo untuk memulai proses penyusunan notasi Gendhing Gati baru, yang diberi nama Gendhing Gati Mardika. Mardika bermakna merdeka. Inspirasi penciptaan gendhing ini bermula dari dukungan Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada awal kemerdekaan Republik Indonesia. Dukungan tersebut dinyatakan dengan terbitnya Amanat 5 September 1945 yang berisi pernyataan mengenai bergabungnya Kasultanan Yogyakarta ke dalam pemerintahan Indonesia.

Semangat kemerdekaan terus berlanjut dengan disampaikannya tawaran Sri Sultan Hamengku Buwono IX kepada Presiden Soekarno mengenai kesediaan Yogyakarta menjadi ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1946-1949. Dalam pidatonya, Bung Karno mengatakan bahwa “Yogyakarta termasyur karena jiwa-jiwa kemerdekaannya, hiduplah terus jiwa-jiwa kemerdekaan itu”. Semangat kemerdekaan inilah yang kemudian melatarbelakangi penciptaan Gendhing Gati Mardika.

Berikut ini ciri khas Gendhing Gati Mardika yang membedakan dengan Gendhing Gati lainnya:

  1. Gati Mardika merupakan satu-satunya gendhing dengan laras pelog, pathet enem, seleh pada nada 3. Dalam karawitan gaya Yogyakarta, nada 3 berarti dhadha (dada). Hal ini bermakna di dalam dadalah tertanam semangat patriotisme dan nasionalisme. Seleh 3 ini juga terinspirasi dari Gendhing Sarayuda. Sara berarti anak panah yang tajam dan yuda berarti perang. Sehingga gendhing ini juga dipersembahkan kepada pejuang yang telah merelakan hidupnya demi melawan penjajah, seperti halnya anak panah yang melesat di medan perang.
  2. Gati Mardika memiliki jangkauan nada yang paling luas pada laras pelog, yaitu nada 1,2,3,4,5,6,7. Hal ini menjadi simbol keragaman yang ada di Indonesia, baik suku, agama, ras, golongan, dan bahasa yang tumbuh harmonis berdampingan.
  3. Jika pada kebanyakan Gendhing Gati instrumen tiup logam dimainkan secara unison dan mengikuti pola balungan gamelan. Sementara di dalam Gendhing Gati Mardika memiliki bagian-bagian yang mengandung pemecahan nada dan membentuk harmoni. Hal tersebut menjadi simbol kebebasan sekaligus lambang keharmonisan.
  4. Menggunakan instrumen perkusi piatti atau hand cymbal. Penambahan piatti ini melambangkan keterbukaan akan hal baru yang mendatangkan keindahan atau keserasian. Keindahan bunyi yang dihasilkan disebabkan oleh pengalaman auditif pelaku seni karawitan.

Sebagai sebuah Yasan Dalem Enggal (karya baru), penciptaan Gendhing Gati Mardika diharapkan mampu menggugah semangat dan menguatkan nasionalisme untuk menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Gendhing Gati Mardika Laras Pelog, Pathet Enem, Kendhangan Ladrang Sabrangan, Kendhang Kalih.

Gendhing Gati Mardika
Nama Gendhing Gati Mardika
Nama Laras Pelog
Nama Pathet Enem
Jenis Kendhangan Ladrang Sabrangan
Jenis Kendhang Kalih
Cara Menabuh Soran
Deskripsi Naratif

Bermakna merdeka, gendhing ini mempunyai laras pelog dan pathet enem. Bagian umpak dapat ditabuh berulang-ulang, sedangkan bagian ngelik berjumlah 3 gongan tanpa diulang. Gati Mardika merupakan Yasan Dalem Enggal (karya baru) Sri Sultan Hamengku Buwono X. Bersifat pamijen atau mligi (khusus) yang ditandai dengan adanya tambahan instrumen piatti atau hand cymbal, gendhing ini digarap dengan konsep harmonisasi pada lagu instrumen tiupnya. Gati Mardika memiliki kalimat lagu yang mencerminkan ketiga konsep pathet dalam laras pelog, yakni enem, lima, dan barang. Nada yang dipakai dalam merangkai melodi balungan gendhingnya juga lengkap, mulai dari nada 1 sampai 7.

 


Sumber : Wawancara dengan MW Susilomadyo pada 26 dan 29 Juli 2020