Kesusastraan Islam di Keraton Yogyakarta

Puncak perkembangan kesusastraan Islam keraton di Jawa terjadi selama kolonialisasi Belanda masuk ke jantung Mataram dan memecahnya menjadi Keraton Surakarta, Yogyakarta, dan Pura Mangkunegaran. Perhatian dan kegiatan istana yang semakin lemah kekuasaannya tersebut diarahkan bagi perkembangan kebudayaan rohani. Periode perkembangan sastra Islam di keraton-keraton Jawa tersebut berlangsung selama 130 tahun, antara tahun 1757-1881. Di Keraton Yogyakarta, setidaknya berlangsung hingga masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono V (1823-1826; 1828-1855), produksi sastra Islam terjadi secara besar-besaran.

Ragam Kesusastraan Islam di Jawa

Sejarah penyebaran Islam memunculkan dua jenis kesusastraan, yaitu sastra Islam santri dan sastra Islam kejawen. Kesusastraan Islam santri berkembang di pondok pesantren yang bertalian dengan syariat. Sementara kesusastraan Islam kejawen berkembang di masyarakat luas, termasuk di keraton. Kesusastraan Islam kejawen dipahami sebagai kepustakaan Jawa yang memuat perpaduan antara tradisi Jawa dengan unsur-unsur Islam. 

Pada umumnya sastra Islam kejawen bergenre sastra wirid, suluk, serta primbon. Wirid umumnya ditulis dalam bentuk prosa, sedangkan suluk ditulis dalam bentuk puisi. Dari ketiga sastra tersebut, primbon tampaknya lebih banyak ditulis sebagai ajaran-ajaran yang disusun tanpa struktur, seperti ngelmu petung, ramalan, pelajaran ibadah, akidah, hingga yang diwujudkan dalam bentuk cerita (baik prosa atau puisi), seperti Serat Kandha, Paramayoga, Serat Ambiya, dan Serat Menak. Di kemudian hari, bentuk sastra Islam kejawen tersebut dikenal dengan istilah tasawuf (mistik Islam). 

Penulisan sastra suluk dan primbon menggunakan metrum (ukuran irama) sebagai aturan yang mengikat. Penggunaan metrum macapat awalnya ditemukan dalam tradisi kesusastraan Jawa pada masa kerajaan Islam. Penggunaan metrum macapat ini dimulai pada abad ke-15, kemudian dengan sangat terbuka digunakan pula oleh Sultan Demak, Raden Patah pada periode abad ke-16. Penulisan sastra dengan metrum macapat tersebut dilestarikan oleh kerajaan Islam pada periode-periode selanjutnya.

Menak Amir Hamzah

Serat Menak Amir Hamza. Koleksi British Library dengan kode MSS.Jav.45

 

Sastra Islam di Keraton Yogyakarta

Tradisi kesusastraan Islam di Keraton Yogyakarta telah lahir sejak masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755-1792). Pendirian Sekolah Tamanan pada 1757 menjadi awal mula penulisan kesusastraan Islam di keraton. Salah satu pelajaran yang diberikan di Sekolah Tamanan adalah pendidikan agama dan mengaji. Abdi Dalem yang bertugas mengajarkan pendidikan agama dan mengaji adalah Reh Kawedanan Kapangulonan. Pelajaran yang diperoleh meliputi Kitab Turutan, Al-Qur’an dan tafsir, Hukum Agama Islam, dan tradisi upacara Kerajaan Mataram hingga Keraton Yogyakarta yang berhubungan dengan agama, seperti parail, perkawinan, dan talak. Berawal dari sinilah kesusastraan Islam tumbuh subur sejalan dengan tradisi tulis keraton. 

Saat ini, kesusastraan Islam tertua yang tersimpan di Keraton Yogyakarta usai peristiwa Geger Sepehi (1812) adalah Kanjeng Kiai Al-Qur’an. Kanjeng Kiai Al-Qur’an yang ditulis pada tahun 1797 dianggap Raffles tidak termasuk bagian dari warisan adiluhung Hindu-Buddha Jawa, sehingga tidak turut dijarah. Al-Qur’an yang disalin oleh Ki Atmaparwita Ordonas Sepuh di Surakarta tersebut memiliki catatan pensil yang menerangkan bahwa kitab tersebut milik Kanjeng Gusti Raden Ayu Sekar Kedhaton, putri ke-37 dari Sri Sultan Hamengku Buwono II (1792-1810; 1811-1812; 1826-1828), yang memperoleh pendidikan agama dari Haji Muhammad, seorang Abdi Dalem Punakawan dan dari Ibu Guru Atun.

Di Keraton, terdapat empat Al-Qur’an yang disalin dan diberi tafsir dalam bahasa Jawa. Al-Qur’an ini ditulis dengan menggunakan tinta emas, dengan ornamen bingkai yang menghiasi di setiap tepi kertas. Beberapa tafsir ditulis pula dengan aksara pegon yakni aksara Arab berbahasa Jawa. Dengan demikian sejak Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755-1792), selain penggunaan aksara Jawa, masyarakat keraton agaknya telah mengenal pula tradisi aksara pegon

Setidaknya terdapat empat genre susastra Islam di Keraton Yogyakarta,  yaitu hikayat, suluk, sastra kitab, dan babad. Terdapat dua judul hikayat yang tersimpan di Perpustakaan KHP Widyabudaya Keraton Yogyakarta, Hikayat Bayan Budiman atau sering disebut Hikayat Kojah Maimun dan Hikayat Seh atau Kadis Ngabdul Kadir Jaelani. Hikayat Bayan Budiman diperkirakan ditulis pada paruh awal abad 19. Sementara Hikayat Seh merupakan sastra yang diprakarsasi oleh Kanjeng Ratu Mas, istri Sri Sultan Hamengku Buwono III pada tahun 1866. 

Bayan Budiman

Hikayat Bayan Budiman.

 

Di samping hikayat, sekurang-kurangnya ditemukan 62 judul sastra suluk di Perpustakaan KHP Widyabudaya. Beberapa suluk diikat dalam satu jilid naskah berjudul Serat Kaklempakan Suluk lan Piwulang Warni-warni, seperti Suluk Wulang, Suluk Saksiraga, Suluk Piwulang, Suluk Purwaduksina, hingga Suluk Sembah Wiji. Produksi sastra suluk besar-besaran terjadi pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono V. Fakta ini sesuai dengan masa kebangkitan sastra di keraton. Meski demikian, sastra suluk tertua tertulis tahun 1815, yang berjudul Serat Suluk Warni-warni

Pengaruh Islam dalam sastra kerajaan, terutama di keraton, turut melahirkan pula tradisi sastra kitab. Sedikitnya terdapat tiga judul kitab yang disimpan di Perpustakaan KHP Widyabudaya, di antaranya Kitab Ahya, Kitab Iladuni, dan Kitab Musarar. Tradisi sastra kitab ini mulanya merupakan saduran dari sastra Islam berbahasa Melayu yang disesuaikan dengan ekologi Jawa. Pengaruh Islam dalam sastra kitab diperoleh dari kisah-kisah Islam Persia, yang kemudian berakulturasi dengan memori kultural carik-carik di Jawa.

Adapun susastra Islam lainnya yang termasuk dalam jenis primbon antara lain Bab Ayating Kuran (Mengenai Ayat-Ayat Al-Qur’an), Bab Salat (Mengenai Salat), Kawruh Salat Sembahyang (Ilmu Salat dan Berdoa), Wulang Misiling Kitab (Cerita Nabi), Ahli Ngelmi Patang Prakawis; Sarekat, Tarekat, Hakekat, Makripat (Belajar Empat Perkara; Syariat, Tarekat, Hakikat, Makrifat) serta beberapa yang terkandung dalam teks babad dan serat

Di Keraton Yogyakarta, setidaknya terdapat 700 koleksi naskah yang terdiri dari 450 koleksi KHP Widyabudaya dan 250 koleksi KHP Kridhomardowo. Dari 700 naskah tersebut, 618 naskah bernafaskan keislaman. Sastra yang merupakan warisan kekayaan intelektual masyarakat pada masanya, bertindak sebagai ujung tombak dari catatan peristiwa sejarah sekaligus penanda kecerdasan sosial, budaya, hingga politik pada masa kepenulisannya. Warisan tradisi sastra Islam tersebut menunjukkan bahwa Islam di Keraton Yogyakarta tidak hanya diwujudkan dalam adat istiadat, namun turut menjadi roh sekaligus pandangan yang berkembang dalam pola-pola pemikiran cendekiawan kerajaan.

 

Serat Panji Dalam

Serat Panji-Roman 

Daftar Pustaka:
Carey, Peter. 2012. Kuasa Ramalan, Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Drewes, GWJ. 1974. Ranggawarsita, The Pustaka Raja Madya and The Wayang Madya. Journal Orient Extremus, Vol.21, No. 2, Hal 199.
Lindsay, Jennifer., dkk. 1994. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 2, Kraton Yogyakarta. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 
Maharsi. 2017. Potret Islam di Kesultanan Yogyakarta Abad XVIII: Kajian Terhadap Penulis Naskah Babad Kraton. Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 15, Hal 59-80.
Miller, J. Hillis. 2011. On Literature: Aspek Kajian Sastra. Yogyakarta: Jalasutra.
Nurhajarini, Dwi Ratna. 2017. “Dari Kraton untuk Kemajuan: Pendidikan di Yogyakarta Akhir Abad XIX – Awal Abad XX” dalam Meneguhkan Identitas Budaya, Sejarah Pendidikan di Yogyakarta. Yogyakarta: Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pigeaud. 1967. Literature of Java vol. 1. The Hague: Martinus Nijhoff.
Poerbatjaraka. 1952. Kepustakaan Jawi. Jakarta: Djambatan.
Pudjiastuti. 2006. Poerbatjaraka dan Manuskrip Islam. Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
Riyadi, Slamet. 2004. Tradisi Kehidupan Sastra Kraton Yogyakarta. Yogyakarta: Gama Media.
Simuh. 1984. Unsur-unsur Islam dalam Kepustakaan Jawa. Yogyakarta: Museum Sonobudoyo.
_____. 1988. Mistik Islam Kejawen. Jakarta: UI Press.