Beksan Surengrana

Beksan Surengrana merupakan Yasan Dalem (karya) Sri Sultan Hamengku Bawono Ka 10. Tarian ini merupakan beksan kakung (tari putra) ketiga yang diciptakan sejak beliau bertakhta. Nama “Surengrana” sendiri berasal dari dua kata yakni “sureng” atau “sura” yang berarti berani dan “rana” atau “rananggana” yang berarti medan perang. Surengrana menjadi perlambang prajurit yang memiliki keberanian perang di medan laga. 

Cerita dalam Beksan Surengrana

Beksan Surengrana menukil cerita dari Babad Tanah Jawi yang mengisahkan tokoh bernama Surengrana, punggawa Kadipaten Surabaya. Pada era Mataram Islam saat Sri Susuhunan Paku Buwono I bertakhta, Surengrana diberi gelar panji. Kelak Surengrana menjadi tumenggung yang berkuasa atas wilayah Kabupaten Lamongan. Dikisahkan Keraton Mataram Kartasura mengutus dua abdinya, yakni Ki Menggung Surabrata dan Ki Menggung Wiramenggala untuk berangkat ke Kadipaten Surabaya. Mereka ditugaskan untuk menyuruh Arya Jaya Puspita, Adipati Kadipaten Surabaya, agar bertandang ke Mataram Kartasura karena sudah lama tidak menghadap (sowan). Sesampainya di Kadipaten Surabaya, dua utusan tersebut bertemu dengan Panji Surengrana dan Panji Kerta Yudha. 

Timbul kesalahpahaman dalam pertemuan tersebut, Panji Surengrana mengira Mataram Kartasura datang untuk menyerang Kadipaten Surabaya. Tumenggung Karta Negara dan Patih Cakrajaya, utusan lain Kartasura, pun datang ke Kadipaten Surabaya dengan wadyabala (bala tentara)Hal tersebut membuat Panji Surengrana makin geram dan juga segera menyiapkan wadyabala. Terjadilah pertentangan kecil antara Keraton Mataram Kartasura dan Kadipaten Surabaya.

Namun, pertemuan dua pasukan prajurit yang sama kuat ini justru menguak kesadaran bahwa mereka memiliki tujuan yang sama, yakni menjaga keutuhan wilayah dari penjajah. Akhirnya, mereka malah mengadakan latihan perang bersama untuk mempersiapkan diri melawan penjajah Belanda (VOC).

01 Beksan Surengrana

Karakter Tokoh Surengrana

Beksan ini tidak secara utuh menggambarkan sejarah hubungan Keraton Mataram Kartasura dan Kadipaten Surabaya, namun menitikberatkan peran Surengrana. Dalam Babad Tanah Jawi, Panji Surengrana dituturkan sebagai punggawa Kadipaten Surabaya yang memiliki perwatakan ngglece (sok gagah, sedikit sombong,tetapi lucu). Aransemen iringan dan gerakan dalam beksan ini dibangun untuk menggambarkan perwatakan lucu tersebut. Karakteristik Panji Surengrana itulah yang divisualisasikan melalui adegan latihan bersama prajurit Keraton Mataram Kartasura dan Kadipaten Surabaya. 

Komposisi Beksan

Beksan Surengrana dibagi atas dua bagian dengan durasi kurang lebih tiga puluh menit. Bagian pertama menceritakan pertemuan utusan-utusan Kartasura dan Surabaya. Beberapa penokohan dimunculkan untuk mengenalkan Panji Surengrana di bagian awal tari ini. Bagian kedua bercerita tentang dua wadyabala yang berlatih perang bersama.

Walau dibawakan oleh dua belas penari, Beksan Surengrana termasuk dalam Beksan Sekawanan, yaitu beksan yang umumnya dibawakan oleh empat orang. Delapan penari memerankan wadya atau prajurit dan empat penari lain berperan sebagai andel atau pemimpin. Empat prajurit dan dua andel berperan sebagai utusan Keraton Mataram Kartasura, sementara empat prajurit dan dua andel lainnya berperan sebagai utusan Kadipaten Surabaya.

02 Beksan Surengrana

Ragam Gerak

Bertemakan keprajuritan, beksan ini tersusun dari ragam gerak gagahan. Ragam gerak yang ditampilkan prajurit adalah bapang dengan modifikasi sekar suwun dengklik wanara, bandul bugis, dan erekan. Sedangkan ragam gerak yang ditarikan oleh andel adalah tayungan dengan modifikasi jeglongan atau pinjalan-pinjalan. Ragam gerak tersebut terinspirasi dari motif gerak Beksan Bugis. Modifikasi tersebut jarang digunakan dalam ragam gerak tari klasik putra gaya Yogyakarta. Tetapi, hal tersebut ditambahkan guna memperkuat karakter ngglece yang dimiliki Panji Surengrana. Beksan ini juga mengadopsi gerak pencak silat saat adegan perang.

Tarian ini menggunakan properti senjata berupa pedang dan tameng. Sehingga ragam gerak tangan seperti ngepel, ngithing, nyempurit, dan lain sebagainya menjadi lebih sedikit. Ciri lain Beksan Surengrana adalah penggunaan komposisi ragam gerak wanara dan bugis yang dipadukan dalam satu tarian. Tidak hanya itu, aksen Bahasa Jawa ala Surabaya juga mewarnai dialog para penari. Aksen tersebut diharapkan membangun imajinasi penonton mengenai identitas para prajurit. 

Komposisi Iringan Gendhing

Beksan Surengrana disajikan dengan iringan gendhing berlaras pelog barang yang memadukan gendhing klasik dan gendhing ciptaan baru. Penggunaan Gendhing Lancaran yang tidak ditemui dalam iringan beksan-beksan lainnya manjadi salah satu ciri tersendiri. Untuk membangun karakter ngglece Panji Surengrana, disisipkan gendhing dengan nuansa riang dengan permainan balungan yang dinamis, melodi yang lucu, serta tambahan vokal yang menjadikan pertunjukan lebih meriah.

Berikut ini adalah urutan gendhing pengiring tari: Lagon Jugag, Kawin Sekar Bremara, Umung, pembacaan Kandha, Maju Gendhing Ladrang Rongeh, Kawin Sekar Salisir, Plajaran atau Playon, Kawin Sekar Durma, Enjer, Ketawang Panji Cluring, Plajaran atau Playon Saradatan, Lancaran Bapang, Sinengkang, Imbalan Carabalen, Ganjur, Gangsaran, Mundur Gending Ladrang Surengrana, dan Lagon Jugag sebagai penutup. 

Tata Busana

Pertunjukan perdana Beksan Surengrana digelar pada Senin, 21 Februari 2022 dalam gelaran Uyon-Uyon Hadiluhung di Kagungan Dalem Bangsal Srimanganti. Para penari mengenakan busana gladhen, yang biasa digunakan saat mengisi pergelaran Uyon-Uyon Hadiluhung pada umumnyaPenari menggunakan jarik model gedederan dengan wiron engkollonthong polos, kamus timang, sondher gendhalagiri, dan penutup kepala berupa iket atau udheng. Untuk membedakan penari wadya dan andel, digunakan motif jarik yang berbeda. Iket yang dikenakan wadya berwarna biru dan sondher gendhalagiri berwarna hijau, sedangkan iket dan sondher gendhalagiri yang dikenakan andel berwarna merah.

Beksan Surengrana menyuarakan pentingnya kecintaan terhadap tanah air dan bangsa serta  semangat berjuang melawan penjajah. Tarian ini juga menyampaikan pesan bahwa persatuan dan kesatuan akan membuat masyarakat semakin kuat. 


Referensi

Olthof W.L. 2007. Babad Tanah Jawi. Jakarta: Narasi

Wawancara dengan KRT Condrowaseso pada 27 Januari 2022 dan 6 Februari 2022

Wawancara dengan MW Susilomadyo pada 4 Februari 2022

Wawancara dengan Nyi RJ Lukitoningrumsumekto pada 3 Februari 2022 dan 15 Februari 2022