Bedhaya Genjong

Sejarah

Bedhaya Genjong adalah salah satu repertoar Yasan Dalem (karya) Sri Sultan Hamengku Buwono VIII (1921-1939). Kata genjong merujuk pada iringan tarinya, yaitu Gendhing Genjong. Dalam kamus Poerwadarminta tahun 1939, genjong memiliki makna “dijongkeng lan diusung” yang dalam bahasa Indonesia diartikan dengan “diangkat”. Bedhaya Genjong mengambil cerita dari Serat Menak Kandhabumi yang secara umum mengisahkan pernikahan antara Wong Agung Jayengrana dengan Dewi Marpinjung. Selain itu, kisah dalam Serat Menak memuat kisah munculnya agama Islam melalui tokoh Wong Agung Jayengrana. 

Bedhaya Genjong merupakan salah satu bedhaya yang sering dipentaskan sebagai rangkaian seremonial saat Sri Sultan Hamengku Buwono VIII tengah Tedhak Loji atau kunjungan balasan ke Rumah Dinas Gubernur Belanda yang kini menjadi Gedung Agung. Bedhaya Genjong pernah digelar saat prosesi Tingalan Jumenengan Dalem (peringatan kenaikan takhta) Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada 1983. Setelah itu, tari ini direkonstruksi oleh salah satu mahasiswa ISI Yogyakarta sekitar tahun 1987-1988. Kemudian, tari ini kembali dipergelarkan tahun 2005. Pada Uyon-Uyon Hadiluhung 24 Oktober 2022 untuk memperingati Wiyosan Dalem (hari kelahiran) Sri Sultan Hamengku Bawono Ka 10, Bedhaya Genjong hadir sebagai penampilan spesial.

Bedhaya Genjong Oktober 2022 02

Keberadaan Bedhaya Genjong terekam dalam manuskrip koleksi Perpustakaan Kridhamardawa Keraton Yogyakarta. Naskah-naskah tersebut antara lain:

  1. Serat Kandha Bedhaya utawi Srimpi kode B/S 13.
  2. Serat Kandha Srimpi utawi Bedhaya Yasan Dalem Kaping VIII kode B/S 15.

Jalan Cerita

Inti cerita Bedhaya Genjong adalah peperangan antara Dewi Kuraisin melawan Dewi Banawati. Dewi Kuraisin berasal dari Ngajrak dan diminta oleh ayahnya, Wong Agung Jayengrana untuk membantu perang di Medayin, seperti yang tertulis pada Serat Kandha B/S 13 sebagai berikut.

Nalika Sri Narendra jim Ngajrak Sang Dyah Retna Dewi Kuraisin dinuta dening rama Wong Agung Jayengrana anenggih sang sura yeng jagad, kinen ambantu ing ngayuda dhumateng ing nigari Madayin.

Sang Dyah Retna Dewi Kuraisin diutus oleh ayahnya, Wong Agung Jayengrana membantu perang di Madayin.

Bedhaya Genjong Oktober 2022 01

Sedangkan Dewi Banawati (adik Prabu Banakamsi) berasal dari Kandhabumi/Kandhabuwana. Perseteruan antara Dewi Kuraisin dan Dewi Banawati berawal dari keinginan Prabu Banakamsi melamar Dewi Marpinjung. Hal ini tercatat dalam naskah Serat Kandha Bedhaya Genjong sebagai berikut.

Purwanira sang nata ing Madayin kadhatengan mengsah sangking nagari Kandhabuwana jujuluk Prabu Banakamsi, nglamar putra Sri Madayin ingkang wasta Marpinjung. Sri Prabu sampun anduta kadang wanodya.

Raja di Madayin kedatangan musuh dari negeri Kandhabuwana bernama Prabu Banakamsi, melamar putri (dari) Madayin bernama Marpinjung. Sri Prabu sudah mengutus saudara perempuannya.

Di saat yang bersamaan, Dewi Marpinjung telah menerima lamaran Wong Agung Jayengrana. Mendengar kabar tersebut, Dewi Banawati kemudian pergi untuk menculik Dewi Marpinjung. Dewi Banawati berniat memberikan Dewi Marpinjung kepada kakaknya, Prabu Banakamsi. Pada awalnya, Dewi Sudarawerti dan Dewi Sirtupelaheli yang melawan Dewi Banawati, namun Dewi Sudarawerti dan Dewi Sirtupelaheli kalah. Setelahnya, majulah Dewi Kuraisin untuk melawan Dewi Banawati. Kedua tokoh inilah yang kemudian menjadi karakter utama Bedhaya Genjong. Pada akhirnya, perang dimenangkan oleh Dewi Kuraisin dan Dewi Banawati gagal menculik Dewi Marpinjung. 

Bedhaya Genjong Oktober 2022 03

Iringan Tari

Berikut urut-urutan iringan tari Bedhaya Genjong: kawiwitan Lagon Wetah Laras Slendro Pathet Sanga, Ladrang Pamikatsih Laras Slendro Pathet Sanga untuk mengiringi kapang-kapang maju (penari memasuki area pertunjukan), Lagon Ngelik Laras Slendro Pathet Sanga, Bawa Swara Sekar Layung Asmara Laras Slendro Pathet Sanga, Gendhing Genjong Laras Slendro Pathet Sanga, Ladrang Uluk-Uluk Laras Slendro Pathet Sanga, Bawa Swara Lagu Subakastawa Laras Slendro Pathet Sanga, Ketawang Subakastawa Laras Slendro Pathet Sanga, Ketawang Subakastawa Laras Slendro Pathet Sanga, Ayak-Ayak Bedhaya Laras Slendro Pathet Sanga, dan Ladrang Dhandhangula Kentar Laras Slendro Pathet Sanga untuk mengiringi kapang-kapang mundur (penari keluar dari area pertunjukan).

Busana Tari

Kelengkapan busana Bedhaya Genjong terdiri atas rompi beludru, sondher, dan jarik dengan motif parang dengan pemakaian seredan. Bagian kepala dilengkapi gelung sinyong, sumping ron, subang, jamang dihias dengan bulu-bulu, cundhuk mentul, pethat, dan ceplok jebehan serta pelik. Aksesori lain berupa kelat bahu, sampur cindhe, kalung sungsun, slepe, dan gelang. Bagian mata dirias dengan model jahitan, sementara cambang diberi hiasan tiruan godheg.

Khusus untuk Uyon-Uyon Hadiluhung 24 Oktober 2022, para penari mengenakan kostum gladhen (latihan). Para penari memakai kampuh busana gladhi dengan motif parang plenik gendreh, kain nyamping dengan motif kawung ndhil, serta sondher gendholo giri. Senjata yang digunakan sebagai visualisasi peperangan antara Dewi Banawati dan Dewi Kuraisin adalah keris dilengkapi dengan jebeng yang berfungsi sebagai perisai. 

Bedhaya Genjong Oktober 2022 04

Komposisi Tari

Penari Bedhaya Genjong berjumlah sembilan ditambah dua penari dhudhuk yang bertugas membawakan jebeng.

Terdapat beberapa pola lantai yang disebut rakit, antara lain rakit lajur, rakit ajeng-ajengan, rakit iring-iringan, rakit tiga-tiga, dan rakit gelar. Rakit gelar menjadi pola lantai yang menonjol karena menampilkan inti cerita pertunjukan bedhaya. 

Bedhaya Genjong diawali dengan rimong udhet saat posisi sila. Rimong udhet adalah ragam gerak berupa menyampirkan sondher ke pundak sebelah kiri. Setelahnya, para penari mulai melakukan gerak sembahan diikuti dengan ragam gerak pada posisi berdiri. Ragam-ragam gerak selanjutnya antara lain ngendherek, ngenceng, sedhuwa, lembeyan, mlampah imbal, ngewer udhet, nyathok udhet, impang majeng, bangomate, lembeyan, kicat boyong, ngenceng jengkeng, nglayang, dan sembahan. 

Visualiasi perang antara Dewi Kuraisin dengan Dewi Banawati tergambar dalam rakit gelar. Kedua tokoh diperankan oleh penari endhel dan batak. Saat rakit gelar, penari membentuk desain lantai kotak, mengelilingi penari endhel dan batak. Penari endhel dan batak kemudian melakukan gerakan perang dengan saling mendesak menggunakan jebeng dan menghunus keris. 

Tema peperangan yang ada dalam Bedhaya Genjong menyimbolkan perseteruan antara kebaikan dan keburukan, sehingga secara tidak langsung menyampaikan ajaran moral bagi pemirsanya.

 


Daftar Pustaka:

Budi Astuti dan Anna Retno Wuryastuti. 2012. “Bedhaya Sumreg Keraton Yogyakarta”. Jurnal Resital. Vol. 13, No. 1.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1997. Raja Kandabuana. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Isti Katria Surani. 2006. Pengaruh Islam dalam Tari Bedhaya Genjong di Keraton Yogyakarta. Yogyakarta: Institut Seni Indonesia Yogyakarta.

Jennifer Lindsay, dkk. 1994.  Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 2, Kraton Yogyakarta. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Kagungan Dalem Serat Kandha Bedhaya utawi Srimpi (B/S 13) Koleksi Perpustakaan Kridhamardawa, Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Kawedanan Hageng Punakawan Kridhamardawa Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. 2016. Kagungan Dalem Serat Pasindhen Bedhaya Genjong Laras Slendro Pathet Sanga.

www.sastra.org diakses pada 30 September 2022

Wawancara:

Wawancara dengan Nyi RB Lukitaningrum pada 11 Oktober 2022

Wawancara dengan Nyi MW Widyawinarbudaya pada 13 Oktober 2022