Sejarah Dokumentasi Visual Keraton Yogyakarta

Kamera dari sebagian koleksi Sri Sultan Hamengku Buwono IX

Dokumentasi visual mengenai keraton yang pertama diketahui berasal seorang prajurit penembak VOC bernama Johannes Rach. Johannes Rach merupakan pelukis kelahiran Denmark yang kemudian pindah ke Belanda. Pada tahun 1762 ia mulai bekerja sebagai prajurit karena mengalami kesulitan keuangan. Rach kemudian dikirim ke Asia. Di Jawa, Rach menghasilkan banyak gambar. Salah satunya gambar yang memperlihatkan Keraton Yogyakarta dari arah Alun-Alun Utara, sekitar tahun 1771. Rach tidak sendiri, ia memiliki beberapa murid yang memiliki gaya gambar serupa. Hasil kerja Rach dan beberapa muridnya ini menjadi sumber informasi penting tentang suasana Indonesia pada pertengahan abad 18. Rach melakukan ini dengan tujuan menjual karya-karyanya.
 
 
Sampai pada pertengahan abad 19, dokumentasi visual mengenai Keraton Yogyakarta masih berupa sketsa ataupun lukisan. Salah satu pelukis fenomenal yang turut menyumbang khazanah dokumentasi keraton adalah Raden Saleh. Raden Saleh adalah pelukis pribumi pertama yang melukis dengan gaya Eropa. Ia lahir sekitar tahun 1814 di Terbaya, dekat Semarang. Bakatnya ditemukan oleh seorang pelukis berkebangsaan Belgia. Berkat potensinya yang luar biasa, ia mendapat beasiswa untuk belajar melukis di Eropa.
 
 
Selain sebagai pelukis Jawa pertama yang mengambil teknik-teknik Eropa dalam lukisannya, kehadiran Raden Saleh juga memperkenalkan lukisan potret secara realis. Sebelum Raden Saleh, Jawa tidak mengenal lukisan potret selain lukisan manusia yang distilisasi serupa pakem wayang. Di Jawa, Raden Saleh banyak melukis keluarga keraton pada sekitar tahun 1860-an. Lukisan-lukisan tersebut masih bisa kita saksikan di Museum Lukisan Keraton Yogyakarta.
 
 
 
347 A0857
Sebagian koleksi lukisan di Keraton Yogyakarta
 
Sekitar tahun 1841 M, fotografi masuk ke Indonesia. Masuknya fotografi ke Indonesia tidak dapat dilepaskan dari berkembangnya teknologi fotografi di Eropa pada masa itu. Beberapa fotografer yang berdomisili Indonesia ini kemudian turut berjasa dalam mendokumentasikan suasana Yogyakarta.
 
Salah satu di antara mereka adalah Simon Willem Cemerik. Simon Willem Cemerik telah tinggal di Yogyakarta paling tidak sejak tahun 1861, ia menjadi pelukis sekaligus fotografer kepercayaan Sri Sultan Hamengku Buwono VI. Cemerik meninggalkan Yogyakarta sekitar tahun 1871. Semasa di Yogyakarta, ia melatih seorang pribumi yang kemudian menjadi sangat terkenal, Kassian Cephas.
 
 
Kassian Chepas lahir dari pasangan Kartodrono dan Minah. Nama Cephas ia dapatkan saat dibaptis, lalu nama tesebut ia gunakan sebagai nama keluarga. Setelah Cemerik meninggalkan Yogya, Cephas menggantikannya menjadi fotografer untuk Kraton Yogyakarta.
 
 
Cephas tinggal dan membuka studio foto di Lodji Kecil Wetan, sekarang bernama Jalan Mayor Suryotomo. Semasa hidupnya, Cephas banyak mengabadikan suasana bangunan, jalan, kegiatan budaya keraton, juga potret keluarga Sultan. Beberapa karya Cephas dipakai untuk mendukung buku karya Isaac Groneman, seperti "In den Kedaton" dan "De Garebeg". Foto-foto hasil karya Cephas yang menunjukkan suasana dalam benteng keraton berikut kegiatan-kegiatan yang ada ada di dalamnya kini menjadi dokumen yang sangat berharga.
 
 
Selain membantu keraton sebagai fotografer, Cephas juga bekerja sebagai Abdi Dalem yang bertugas mengantar surat. Pada tahun 1905, Cephas naik pangkat menjadi wedana. Sekitar tahun itu pula Cephas memutuskan pensiun sebagai fotografer. Ia menyerahkan usaha kepada anaknya, Sem Cephas.
 
 
Kassian Chepas meninggal tahun 1912. Enam tahun setelahnya, Sem Cephas meninggal dalam kecelakaan berkuda di Alun-Alun Selatan. Saat itu Sem Cephas sedang berkuda dengan Putra Mahkota Hamengkunegara IV dalam rangka melaksanakan tugas dokumentasi.
 
 
Pada masa itu, keadaan sosial sedang stabil dan perekonomian keraton membaik. Teknologi fotografi juga telah cukup menyebar. Banyak dari anggota keluarga Sultan memiliki peralatan fotografi sendiri. Bahkan beberapa dari antaranya memiliki hobi fotografi. Salah satunya adalah BRM Dorodjatun yang kemudian naik takhta menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Bahkan BRM Herjuno Darpito, yang kemudian naik takhta menjadi Sri Sultan Hamengku Bawono ka 10, pernah berprofesi menjadi tukang foto keliling. Saat itu, pendokumentasian Keraton Yogyakarta kemudian dilakukan sendiri oleh keluarga Sultan.
 
 
Teknologi yang berkembang membuat kegiatan pendokumentasian keraton turut berkembang. Kamera video telah dipergunakan saat pendokumentasian prosesi kenaikan takhta Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada tahun 1940. Demikian pula pada prosesi kenaikan takhta Sri Sultan Hamengku Bawono Ka 10 pada tahun 1989 yang menggunakan jasa sebuah perusahaan periklanan.
 
 
Keluarga keraton terus mendokumentasikan peristiwa-peristiwa di sekitar keraton dan keluarga, baik dilakukan sendiri maupun menggunakan jasa dari luar. Kesadaran untuk memiliki suatu badan yang bertugas untuk mendokumentasikan dan menyimpan hasil dokumentasi tersebut mulai tampak pada tahun 2012. Keraton membentuk sebuah tim dokumentasi di bawah GRA Nurabra Juwita, putri keempat Sri Sultan Hamengku Buwono X  yang kemudian bernama GKR Hayu.
 
 
Tugas besar pertama dari tim ini adalah mendokumentasikan prosesi pernikahan GKR Hayu pada tahun 2013. Pendokumentasian ini menjadi penting karena tujuannya tidak berfokus pada aspek nostalgia saja, namun turut menangkap detail prosesi pernikahan adat Keraton Yogyakarta sebagai rekaman budaya. Terlebih mengingat GKR Hayu adalah putri Sri Sultan Hamengku Buwono X yang terakhir menikah. Hasil dari dokumentasi ini tidak sekadar disimpan secara pribadi, namun juga dibagikan ke masyarakat luas melalui situs kratonwedding.com.
 
 
Tim tersebut lalu tumbuh menjadi divisi resmi dalam institusi keraton, menjadi tepas tersendiri yang dinamakan Tandha Yekti. Keberadaan Tepas Tandha Yekti kemudian diresmikan melalui surat keputusan tanggal 23 Juni 2014. Sampai saat ini, Tepas Tandha Yekti terus bekerja mendokumentasikan peristiwa dan khazanah budaya keraton, sekaligus mengolahnya sehingga mampu menjadi bahan edukasi bagi kalangan keraton sendiri maupun bagi masyarakat luas.
 
Launching 3
GKR Hayu bersama Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam acara launching website KratonJogja.id
 
 

Daftar Pustaka:
Eka Hadiyanta. 2013. Lensa Budaya, Menguak Fakta Mengenali Zaman. Yogyakarta: BPCB Yogyakarta)
Gerrit J. Knaap. 1999. Cephas, Yogyakarta: Photography in the service of Sultan. Leiden: Kitlv Press
Indra Syamsi. 2012. GKR Hemas Ratu di Hati Rakyat. Jakarta: Kompas Media Nusantara
Lombard, Denys. 2008. Nusa Jawa Silang Budaya 1. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Rajpal Kumar De Silva. 1988. Illustrations and Views of Dutch Ceylon 1602-1796. Leiden: Brill Archive
Wawancara MW Bimo Guritna pada Februari 2017
Wawancara KRT Purwowinoto pada Februari 2017