Wilayah Yogyakarta dari Giyanti Hingga Kini

Sumber: Carte de l'Ile de Java: partie Occidentale, partie Orientale. Year: 1719.

 

 
Sang Nata alon ngandika 
Wruhanira Mangkubumi 
Yen praptane kaki Jendral 
Minta anggadhuh pasisir 
Sun yayi wus marengi 
Kumpeni pamitanipun 
Wit kapengkok wicara 
Njeng Pangeran matur aris 
Dhuh Pukulun dene ta boten kadosa 

 

Bait-bait kalimat di atas adalah keluhan Paku Buwana II kepada Pangeran Mangkubumi, adiknya, yang dimuat dalam Babad Giyanti karya Yasadipura I. Dalam dialog tersebut tergambar kegelisahan hati Paku Buwana II saat ditekan Gubernur Jenderal Von Imhoff agar menyerahkan wilayah pesisir Mataram kepada VOC. 

Tidak lama kemudian, Pangeran Mangkubumi mengangkat senjata melawan VOC. Peperangan tersebut berujung pada Perjanjian Giyanti yang dikenal dengan Palihan Nagari, dimana tanah Mataram dibagi menjadi dua. Sebelah timur Kali Opak menjadi wilayah Kasunanan Surakarta, dan wilayah barat menjadi Kesultanan Yogyakarta. Perjanjian ini ditandatangani pada tanggal 13 Februari 1755 antara Pangeran Mangkubumi dengan Nicholas Hartingh sebagai wakil VOC. 

Konsep Mandala dalam Wilayah Kesultanan Yogyakarta

Kesultanan Yogyakarta mewarisi pola kerajaan konsentris dalam mengatur tata ruang wilayahnya. Konsep tata ruang ini dikenal dengan konsep mandala dan sudah dipakai oleh kerajaan-kerajaan sebelumnya seperti Mataram Islam, Majapahit, dan Mataram Hindu. Dalam konsep mandala, keberadaan raja atau kerajaan menjadi titik pusat.

Keruangan wilayah Yogyakarta terbagi menjadi empat bagian, yaitu:

  1. Kraton. Sebagai pusat kekuasaan, kraton bertanggung jawab atas parentah njero (pemerintahan dalam). Secara fungsi juga sebagai perantara antara Sultan dengan pemerintah luar. Sultan dan keluarganya tinggal di wilayah ini.
  2. Nagara atau kuthanegara (ibu kota). Wilayah ini diperuntukkan bagi tempat kedudukan parentah njaba atau pemerintahan luar. Ruang ini diisi oleh para pangeran, patih dan para pejabat tinggi lainnya.
  3. Negaragung adalah wilayah inti kerajaan yang terletak di sekeliling kuthanegara. Wilayah ini sebagian besar adalah tanah lungguh untuk para pejabat kerajaan yang tinggal di kuthanegara.
  4. Mancanegara adalah seluruh wilayah kerajaan yang berada di luar wilayah negaragung. Wilayah ini diperintah oleh para bupati yang ditunjuk oleh Sultan dan bertanggungjawab kepada patih.

Secara garis besar wilayah kesultanan terbagi menjadi dua, yaitu wilayah negaragung atau wilayah inti kerajaan tempat keraton berada, dan wilayah mancanegara atau provinsi luar yang tidak berhubungan langsung dengan Sultan.

Java 1812 (1)

Sumber: Sketches, Civil and Military, of the Island of Java. Tahun 1812.

 

Wilayah Awal Kesultanan Yogyakarta

Perjanjian Giyanti menyebutkan bahwa Pangeran Mangkubumi diakui sebagai Sultan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan wilayah nagara agung sebesar 53.100 cacah. Termasuk di dalamnya daerah Mataram, Pajang, Sukawati, Bagelen, Kedu dan Bumi Gedhe. Dan bagian mancanagara sebesar 33.950 cacah meliputi daerah Madiun, Magetan, Caruban, separuh Pacitan, Kertasana, Kalangbret, Ngrawa (Tulungagung), Japan (Majakerta), Jipang (Bojanegara), Teras Karas (Ngawen), Sela, Warung (Kuwu Wirasari) dan Grobogan. Beberapa wilayah bahkan beririsan dengan wilayah Surakarta. 

Cacah yang dimaksud merupakan satuan keluarga, sehingga luas wilayah yang dimaksud dalam pembagian tersebut adalah luas tanah garapan dan jumlah penduduk yang mendiami wilayah tersebut. Perjanjian Giyanti tidak menetapkan garis batas antar wilayah. Pembagian wilayah dalam konsep mandala tidak memiliki batasan tegas dan kasat mata seperti pembagian tanah yang dikenal pada masa modern. 

Wilayah Yogyakarta pada Masa Kekuasaan Inggris (1811-1816)

Pada tanggal 18 September 1811 kekuasaan Belanda di Jawa jatuh ke tangan Inggris. Mengetahui hal ini, Sri Sultan Hamengku Buwono II yang sebelumnya didesak untuk mundur oleh Belanda, kembali mengambil alih kekuasaan di Keraton Yogyakarta. Beliau kemudian melakukan negosiasi dengan Raffles yang saat itu menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Salah satu tuntutannya adalah agar Inggris membayar ganti rugi daerah-daerah pesisir yang sebelumnya dikuasai Belanda. 

Perundingan antar kedua belah pihak tidak membuahkan hasil, sementara ketegangan antara kedua belah pihak semakin meningkat. Akhirnya pada bulan Juni 1812 Inggris menyerbu Keraton Yogyakarta. Dalam penyerbuan yang dikenang sebagai peristiwa Geger Sepehi ini, Sri Sultan Hamengku Buwono II ditawan dan kemudian diasingkan. Kedudukannya digantikan oleh Pangeran Putra Mahkota yang bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono III. Raffles juga menobatkan Pangeran Notokusumo sebagai Pangeran Merdika, dengan gelar KGPAA Paku Alam I. 

Melalui kontrak politik yang ditandatangani pada tanggal 17 Maret 1813, pemerintah Inggris memberikan tanah seluas 4000 cacah kepada KGPAA Paku Alam I. Tanah tersebut diambil dari wilayah Kesultanan Yogyakarta. Wilayah Kadipaten Pakualaman meliputi daerah Parakan di Kedu, sebagian daerah Bagelen, dan sebagian daerah di Klaten. Wilayah tersebut mengambil sebagian wilayah mancanegara dan sebagian kecil wilayah di negaragung Kesultanan Yogyakarta.

Perubahan Wilayah Yogyakarta setelah Perang Jawa (1830)

Wilayah kekuasaan Kesultanan Yogyakarta kembali mengalami perubahan akibat terjadinya Perang Jawa (1825-1830). Kekuasaan Inggris berakhir pada tahun 1816, dan Jawa kembali dikuasai Belanda. Pada tahun 1825, perang pecah kembali. Pangeran Diponegoro, putra tertua dari Sri Sultan Hamengku Buwono III mengangkat senjata melawan pemerintah kolonial.

Peristiwa ini dikenal dengan nama Perang Jawa (Java Oorlog). Perlawanan yang berlangsung selama lima tahun ini memberikan kerugian teramat besar kepada pihak pemerintah kolonial. Sehingga ketika perang ini berakhir, pemerintah kolonial memaksa Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman untuk menyerahkan seluruh wilayah mancanegara melalui perjanjian yang ditandatangani pada tahun 1831.

Adapun wilayah Kadipaten Pakualaman, seiring naiknya KGPAA Paku Alam II (1829-1858), mendapat sebagian kecil wilayah di dalam Kota Yogyakarta, dan wilayah Kabupaten Karangkemuning di luar kota. Kabupaten ini beribu Kota Brosot, dan mempunyai empat distrik yaitu Galur, Tawangharjo, Tawangsoko dan Tawangkarto. Pada masa KGPAA Paku Alam VII, wilayah ini kemudian diberi nama Kabupaten Adikarto dengan Wates sebagai ibukota. 

Yogyakarta

Sumber: Kaart van de Residentie Djocjakarta, 1857, dari buku Algemeene atlas van Nederlandsch Indie : uit officieele bronnen en met goedkeuring van het gouvernement zamengesteld.

 

Reorganisasi Agraria Sistem Pemilikan Tanah

Dari tahun 1917 hingga 1925, dilaksanakan kebijakan baru mengenai tata kelola agraria. Pemerintah kolonial mendesak kesultanan untuk melaksanakan kebijakan yang sebenarnya perwujudan dari Undang-Undang Agraria tahun 1870 yang telah diberlakukan pada wilayah pemerintahan Hindia Belanda. Undang-undang ini diperkenalkan oleh pemerintah kolonial demi lancarnya investasi dari perusahaan-perusahaan swasta dengan cara memberikan status hukum yang jelas terhadap tanah-tanah yang ada. Agar kebijakan ini dapat terlaksana, maka dilakukan pengukuran tanah di segala penjuru sehingga kesultanan pun akhirnya memiliki batas-batas wilayah yang jelas.

Wilayah Yogyakarta pada masa Republik Indonesia (1945)

Pada 17 Agustus 1945, Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia di Jakarta. Sri Sultan Hamengku Buwono IX bersama Sri Paduka Paku Alam VIII segera mengeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman bergabung dengan Indonesia. Gabungan dari wilayah kesultanan dan kadipaten ini yang kemudian dikenal sebagai wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.


Daftar Pustaka:

Carey, Peter. 2008. The Power of Prophecy - Prince Dipanegara and the end of an old order in Java, 1785-1855. Leiden: KITLV Press

Ricklefs, M.C. 1974. Jogjakarta under Sultan Mangkubumi 1749-1792: A History of the Division of Java. London: Oxford University Press

Ricklefts, M.C. 2007. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi

Setiawati, Nur Aini. 2011. Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat. Yogyakarta: STPN Press

Soemardjan, Selo. 2009. Perubahan Sosial di Yogyakarta. Cetakan kedua. Jakarta: Penerbit Komunitas Bambu.

Suhatno. 2006. Yogyakarta dalam Lintasan Sejarah, makalah disampaikan pada acara pembekalan Lawatan Sejarah Regional DIY, Jateng dan Jatim. Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta 11 - 14 Juli 2006.

Yasadipura I. 1937. Babad Giyanti, Jilid I. Jakarta: Balai Pustaka. 

_________, 1956. Buku Kenang-kenangan 200 Tahun Kota Yogyakarta 1756-1956.  Yogyakarta: tanpa penerbit