Tamansari

Tamansari, yang berarti taman yang indah, pada mulanya merupakan sebuah taman atau kebun istana Keraton Yogyakarta. Kompleks ini dibangun secara bertahap pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono I. Pembangunan dimulai pada tahun 1758 M, ditandai oleh candra sengkala "Catur Naga Rasa Tunggal" yang menunjuk tahun 1684 Jawa. Sengkalan yang dapat diartikan sebagai "empat naga satu rasa" ini dapat ditemukan di Gapura Panggung, Bagian-bagian penting dari kompleks bangunan diselesaikan pada tahun 1765 M, ditandai candra sengkala "Lajering Sekar Sinesep Peksi" yang menunjuk tahun 1691 Jawa. Sengkalan yang berarti "kuntum bunga dihisap burung" ini dapat ditemui di Gapura Agung dan ornamen beberapa dinding bangunan.

Tamansari memiliki luas lebih dari 10 hektar dengan 57 bangunan di dalamnya. Bangunan-bangunan tersebut berbentuk gedung, kolam pemandian, jembatan gantung, kanal air, danau buatan, pulau buatan, masjid, dan lorong bawah tanah.

 
Taman ini dijuluki Water Kasteel karena kolam-kolam dan unsur air yang mengelilinginya. Disebut juga sebagai The Fragrant Garden karena pohon-pohon dan bunga-bunga yang harum ditanam di kebun-kebun sekitar bangunan.

 

Desain Tamansari didasarkan pada gagasan dari Sri Sultan Hamengku Buwono I, adapun gambar teknisnya dikerjakan oleh seorang berkebangsaan Portugis yang diduga datang dari wilayah Gowa, Sulawesi. Arsitek dari Portugis ini dikenal sebagai Demang Tegis, nama yang kemungkinan besar bersumber dari kebangsaannya. Adapun pimpinan proyek pembangunan Tamansari dipegang oleh Tumenggung Mangundipuro yang kemudian digantikan oleh Pangeran Notokusumo.

4.7 2 Denah Tamansari
Cakupan wilayah kompleks Tamansari.

 

Tamansari sendiri didirikan di atas sebuah umbul atau mata air yang dikenal dengan nama Umbul Pacethokan. Di kompleks Tamansari terdapat dua buah danau buatan, disebut sebagai segaran. Kata segaran berasal dari kata segara yang berarti lautan. Satu berada di sisi timur dengan pulau buatan di tengahnya yang bernama Pulo Gedhong, dan satu berada di sisi barat dengan pulau buatan di tengahnya yang bernama Pulo Kenanga. Kedua segaran ini dihubungkan dengan sebuah kanal yang memotong lorong penghubung Plataran Magangan dan Plataran Kamandhungan Kidul. Kebun berisi aneka tanaman buah tumbuh rimbun mengapit kanal tersebut.

Selain difungsikan sebagai tempat rekreasi, nampaknya Tamansari juga memiliki fungsi pertahanan dan fungsi religi. Fungsi pertahanan tampak pada tembok keliling yang tebal dan tinggi, gerbang yang dilengkapi tempat penjagaan, dan bastion atau tulak bala sebagai tempat menaruh persenjataan. Selain itu terdapat beberapa urung-urung atau jalan bawah tanah yang menghubungkan satu tempat ke tempat lain. Juga posisi bangunan Pulo Kenanga yang tinggi, diduga difungsikan sebagai tempat peninjauan apabila musuh datang.

Fungsi religi ditunjukkan dari adanya bangunan Sumur Gumuling dan Pulo PanembungSumur Gumuling yang berbentuk melingkar difungsikan sebagai masjid, sedang Pulo Panembung digunakan oleh Sultan sebagai tempat untuk bermeditasi. Kedua bangunan ini berada di tengah kolam Segaran, tampak menyembul di tengah bentangan air yang luas.

Pada awalnya bangunan Pesanggrahan Tamansari menghadap ke barat, sehingga lorong bagian depan (gledegan) terletak di sebelah selatan Plengkung Jagabaya (Plengkung Tamansari). Adapun segarannya memiliki lorong depan lurus ke utara sampai di Plengkung Jagasura (Plengkung Ngasem). Sebagai tempat wisata, kini pintu masuk ke kompleks ini berubah ke arah timur menggunakan pintu yang dahulunya merupakan pintu belakang.

Pada tahun 1867, di masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VI, terjadi peristiwa gempa besar yang meruntuhkan bangunan-bangunan di Yogyakarta. Kompleks bangunan Tamansari mengalami kerusakan yang cukup parah dan menjadi terbengkalai. Hal ini menyebabkan banyak penduduk membangun hunian di antara bekas kebun dan puing bangunan.

Renovasi secara serius dimulai semenjak 1977. Beberapa bangunan yang tertimbun dibongkar. Namun hanya sedikit sekali bagian dari bangunan Tamansari yang bisa diselamatkan.  

Gempa besar terjadi lagi di wilayah Yogyakarta pada tahun 2006. Gempa tektonik yang berkekuatan 5,9 SR ini sekali lagi membawa kerusakan pada Tamansari. Proses renovasi dan revitalisasi kembali dilakukan, beberapa bangunan diperbaiki, diperkuat, dan dilapis ulang.

Tamansari yang sempat tinggal reruntuhan kini mulai bersolek. Walau terhimpit rumah-rumah penduduk, sisa-sisanya menanti dikunjungi wisatawan yang ingin mengintip kemegahan taman raja dari masa lalu.

4.7 1 Gapura Panggung
Gapura Panggung yang kini menjadi pintu gerbang obyek wisata Tamansari.

 


Daftar Pustaka:
A. Sunaryo. 2005. Di Balik Keindahan Bentuk Hiasan Sengkalan Memet pada Gapura Taman Sari. Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang.
Balai Pelestarian Cagar Budaya Yogyakarta. 2014. Mosaic of Cultural Heritage Yogyakarta. Yogyakarta: Balai Pelestarian Cagar Budaya Yogyakarta.
Budi Handojo. 2009. Kajian Hukum Penanganan Pasca Gempa Terhadap Pelestarian Kawasan Pesanggrahan Tamansari Kraton Yogyakarta. Jurnal UTM, Universitas Tidar Magelang, Volume 32 No. 2.
Joao Campos. 2006. Globalisation and Empires: Shared Architectures from Portuguese Origin, Conference at The Faculty of Architecture, National Technical University of Athens.
Ki Sabdacarakatama. 2009. Sejarah Keraton Yogyakarta. Yogyakarta: Penerbit Narasi.
Lombard, Denys. 2005. Nusa Jawa: Silang Budaya dan Warisan-warisan Kerajaan Konsentris. Jakarta: Gramedia.
Sukirman Dharmamulja. 1988. Mengenal Sekilas Bangunan Pesanggrahan Taman Sari Yogyakarta. Jakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, Direktorat Jendral Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Theresia Ani Larasai, 2014. Sekilas Bangunan Pesanggrahan Taman Sari Yogyakarta. Yogyakarta: Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah DIY.