Pohon Beringin di Keraton Yogyakarta

Pohon beringin (Ficus Benjamina) memiliki posisi istimewa bagi Kesultanan Yogyakarta. Sebagai tanaman kerajaan, pohon beringin yang besar dan rimbun melambangkan pengayoman raja kepada rakyatnya. Ada puluhan pohon beringin yang ditanam di kawasan Keraton Yogyakarta, beberapa di antaranya bahkan memiliki nama.

Kiai Dewadaru dan Kiai Janadaru

Di tengah Alun-Alun Utara, ditanam sepasang pohon beringin. Karena diberi pagar berbentuk persegi, keduanya juga disebut sebagai ringin kurung yang berarti beringin yang dikurung. Keberadaan sepasang ringin kurung ini tepat di tengah alun-alun dan mengapit sumbu filosofi, yakni garis imajiner yang membujur antara utara dan selatan, menjadi poros bagi tata ruang Keraton Yogyakarta. Beringin yang di sisi barat dikenal sebagai Kiai Dewadaru, sedang yang di sisi timur dikenal sebagai Kiai Janadaru.

Sebagai pusaka keraton, keduanya turut menjalani upacara Jamasan tiap bulan SuraJamasan adalah upacara di keraton untuk membersihkan dan merawat benda-benda pusaka. Kiai Dewadaru dan Kiai Janadaru dijamas dengan cara dipangkas sehingga tajuknya berbentuk bundar seperti payung. Bentuk payung ini melambangkan pengayoman yang diberikan keraton pada rakyat Yogyakarta.

Kiai Dewadaru berasal dari kata dewa dan daruDewa bermakna sifat-sifat ketuhanan sedang daru berarti cahaya, sehingga Dewadaru dapat diartikan sebagai cahaya ketuhanan. Kiai Janadaru berasal dari kata jana dan daruJana berarti manusia, sehingga Janadaru dapat diartikan sebagai cahaya kemanusiaan.

Kiai Dewadaru ditempatkan di sebelah barat sumbu filosofi, di sisi yang sama dengan lokasi Masjid Gedhe yang berfungsi sebagai pusat keagamaan. Sedang Kiai Janadaru ditempatkan di sebelah timur sumbu filosofi, di sisi yang sama dengan lokasi seperti Pasar Gedhe (Pasar Beringharjo) yang berfungsi sebagai pusat ekonomi. Agama dipandang dalam hubungannya dengan sifat-sifat ketuhanan, sedang ekonomi dipandang dalam hubungannya dengan sifat-sifat kemanusiaan. Keseimbangan dan keserasian hubungan diantara keduanya merupakan konsep Manunggaling Kawula Gusti, yaitu persatuan antara Raja dan rakyat serta kedekatan hubungan antara manusia dan Tuhan.

Konon, bibit Kiai Dewadaru berasal dari Majapahit sedang bibit Kiai Janadaru berasal dari Pajajaran. Garis keturunan ini terus dijaga tiap kali ada pohon yang rubuh atau mati. Kiai Dewadaru pernah diganti pada tahun 1988, saat beringin tersebut rubuh menjelang wafatnya Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Kiai Janadaru pernah terbakar dan ditanam kembali karena tersambar petir pada tahun 1961. Sebelumnya, Kiai Janadaru juga pernah diganti pada tahun 1926.

Peristiwa rubuh dan digantinya Kiai Janadaru pada tahun 1926 tersebut dikisahkan cukup rinci pada Serat Salokapatra. Kiai Janadaru yang sudah sakit selama sekitar dua tahun akhirnya rubuh. Seluruh bagian pohon yang rubuh kemudian dikuburkan tidak jauh dari tempat semula.

Kiai Janadaru kemudian digantikan bibit baru yang berasal dari cangkokannya sendiri. Bibit baru tersebut kemudian ditanam kembali di tempat dahulu Kiai Janadaru tumbuh. Penanaman bibit tersebut dilakukan dalam sebuah upacara yang dipimpin oleh Patih Danureja VII dan diiringi doa-doa oleh Abdi Dalem Punokawan Kaji.

Saat ini, Kiai Janadaru lebih dikenal dengan nama Kiai Jayadaru. Ada juga yang menyebutnya Kiai Wijayadaru. Begitu pun Kiai Dewadaru, ia juga dikenal dengan nama lain, yaitu Kiai Dewatadaru. Walau demikian, nama-nama ini semua memiliki makna yang sama. Satu mewakili sifat-sifat Tuhan, satu lagi mewakili sifat-sifat manusia.

Beringin
Denah posisi pohon beringin

Beringin di Seputar Alun-Alun Utara

Selain Kiai Dewadaru dan Kiai Janadaru, terdapat banyak pohon beringin lain di Alun-Alun Utara. Pohon-pohon itu ditanam berkeliling menjadi batas luar dari alun-alun. Jumlahnya sebanyak 62 buah. Bersama Kiai Dewadaru dan Kiai Janadaru, total terdapat 64 beringin. Jumlah yang sama dengan usia Nabi Muhammad SAW jika dihitung berdasar penanggalan Jawa.

Empat di antara pohon beringin yang mengelilingi alun-alun ini juga memiliki nama. Dua di utara mengapit Jalan Pangurakan, dua di selatan di depan Bangsal Pagelaran. Terdapat beberapa versi dari nama keempat pohon beringin tersebut.

Saat ini, dua pohon yang mengapit Jalan Pangurakan dikenal dengan nama Kiai Wok dan Kiai Jenggot. Kiai Wok berada di sisi barat. Namanya berasal dari kata brewok yang berarti rambut yang tumbuh di dagu dan pipi belakang. Kiai Jenggot berada di sisi timur, namanya berarti rambut yang tumbuh di janggut. Dua pohon yang berada di depan Bangsal Pagelaran dikenal dengan Agung (kadang hanya disebut Gung) dan Binatur. Agung yang berada di sisi timur melambangkan priyayi atau penguasa. Binatur yang berada di sisi barat melambangkan kawula atau rakyat.

Pada Serat Salokapatra yang ditulis sekitar awal abad ke-20, dua pohon yang mengapit Jalan Pangurakan disebut Kiai Godheg dan Kiai Simbarjaja. Kiai Godheg berada di sisi barat dan Kiai Simbarjaja berada di sisi timur. Sedang dua pohon yang berada di depan Bangsal Pagelaran disebut Kiai Jebres dan Kiai Wok. Kiai Jebres berada di sisi barat dan Kiai Wok berada di sisi timur. Jika ditilik dari arti namanya, maka keempat pohon ini mewakili rambut-rambut yang tumbuh di tubuh. Godheg atau cambang adalah rambut yang tumbuh di pipi dekat telinga, simbarjaja adalah rambut yang tumbuh di dada, jebres atau kumis adalah rambut yang tumbuh di atas mulut, dan wok atau brewok adalah rambut yang tumbuh di dagu dan pipi belakang.

Sedang pada sebuah peta yang bertahun 1929, dua pohon yang mengapit Jalan Pangurakan bernama Kiai Brewok dan Kiai Godheg. Kiai Brewok berada di sisi barat dan Kiai Godheg berada di sisi timur. Adapun dua pohon yang berada di depan Bangsal Pagelaran disebut Kiai Sepuh dan Kiai Jebres. Kiai Sepuh berada di sisi barat dan Kiai Jebres berada di sisi timur. Sepuh pada nama Kiai Sepuh sendiri berarti tua.

Beringin (3)
Pohon beringin di Alun-Alun Selatan

Beringin di Alun-Alun Selatan

Pohon beringin juga dapat ditemui di Alun-Alun Selatan. Ada dua beringin yang ditanam dan diberi pagar dan penempatan yang sama seperti di Alun-Alun Utara. Kedua pohon beringin ini dinamakan Supit Urang. Selain kedua pohon beringin di tengah, terdapat sepasang beringin lain yang mengapit jalan menuju Plengkung Nirbaya (Plengkung Gadhing). Sepasang beringin ini disebut Kiai Wok. Ada satu lagi pohon beringin di area Alun-Alun Selatan, tumbuh di depan kandang gajah.

Beringin Lain di Area Keraton Yogyakarta

Selain di alun-alun, saat ini pohon beringin di Keraton Yogyakarta juga bisa dijumpai di Plataran KemaganganPlataran Kamandhungan Lor, dan Plataran Sitihinggil Lor.

Di Plataran Kemagangan, terdapat sebuah pohon beringin yang ditanam di antara regol dan bangsal. Pohon ini ditanam saat Sultan Hamengku Buwono VIII bertakhta. Ada yang menyebutnya dengan nama Sri Makutha Raja.

Di Plataran Kamandhungan Lor, di sisi barat bangsal, juga terdapat sebatang pohon beringin jenis preh.

Arti Pohon Beringin bagi Keraton Yogyakarta

Masyarakat Jawa memandang pohon beringin sebagai pohon hayat. Pohon yang memberikan hayat atau kehidupan pada manusia, juga memberikan pengayoman dan perlindungan. Pohon yang besar dan rimbun seperti pohon beringin juga dianggap menimbulkan rasa gentar dan hormat.

Penghormatan terhadap beringin sudah ada sejak masa Mataram Islam, kerajaan yang menjadi cikal bakal Kesultanan Yogyakarta. Pohon beringin termasuk dalam barang yang diangkut pada proses perpindahan keraton Mataram dari Kartasura menuju Surakarta. Rombongan pengangkut yang membawa empat buah pohon beringin pusaka berjalan di depan, diikuti oleh rombongan pengangkut lainnya. Keempat pohon ini kemudian ditanam kembali di ibukota yang baru.

Bahkan pada masyarakat Jawa masa lalu, dikenal frasa "neres ringin kurung". Frasa yang secara harfiah berarti "menguliti kulit pohon beringin kurung" tersebut dimaknai sebagai "memberontak terhadap kekuasaan raja". Pandangan seperti ini tidak dapat dilepaskan dari bentuk dan sifat pohon beringin. Pohon beringin memiliki sifat-sifat yang dihubungkan dengan kebesaran Keraton Yogyakarta. Ukurannya besar, tumbuh disegala musim, berumur panjang, dan akar-akarnya dalam dan kuat mencengkram tanah, memiliki kemampuan mengikat air dengan baik. Daun-daunnya kecil rimbun memberi keteduhan dan pasokan oksigen dalam jumlah besar, memberi rasa aman bagi yang berteduh di bawahnya.


Daftar Pustaka:

Djoko Dwiyanto, dkk. 2009. Ensiklopedi Kraton Yogyakarta. Yogyakarta: Dinas Kebudayaan Provinsi DIY
Hermanu, dkk. 2012. Ngayogyakarta. Yogyakarta: Bentara Budaya Yogyakarta
I.W. Pantja Sunjata. 1995. Makna Simboli Tumbuh-Tumbuhan dan Bangunan Kraton: Suatu Kajian Terhadap Serat Salokapatra. Jakarta: Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Pusat, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Direktorat Jenderl Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
KRT Wasesowinoto. 2004. Regol Semen Truntum-Sida Luhur Karaton Ngayogyakarta. Yogyakarta.
Lombard,Denys. 2008. Nusa Jawa Silang Budaya 3. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Wawancara dengan KRT Rintaiswara pada 20 Juni 2017