Masa Kemasyhuran dan Keruntuhan Tamansari

Selain keraton, bangunan yang pertama-tama dibangun pada masa awal keberadaan Kesultanan Yogyakarta adalah Tamansari. Tamansari didirikan di atas sebuah umbul (mata air) yang dikenal dengan nama Umbul Pacethokan. Pembangunan kompleks taman dan pemandian seluas 1.26 hektar ini diselesaikan selama hampir delapan tahun, dari tahun 1757 hingga 1765.

Proses pembangunan Tamansari yang memakan waktu panjang membuat pembangunan Benteng Vredeburg, benteng permintaan pemerintah kolonial pada Kesultanan Yogyakarta, menjadi tertunda-tunda. Oleh karenanya beberapa orang percaya bahwa pembangunan Tamansari yang berlarut-larut ini digunakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I untuk mengulur waktu.

Tamansari dalam Catatan Asing

Tamansari sangat termasyur. Keindahan lokasi membuat penasaran Raflles. Sir Thomas Stamford Raffles merupakan Letnan Gubernur Inggris di Jawa antara tahun 1811 sampai tahun 1816. Ia sangat tertarik pada hal-hal yang ada di Jawa, termasuk flora fauna dan peninggalan kuno. Catatannya menyebut bahwa dia sangat ingin menguasai Jawa, terutama karena ingin menaklukkan Sultan Mataram dan menguasai istananya yang dia dengar memiliki Istana Air yang megah. Oleh karenanya, dia meminta khusus kepada prajuritnya untuk membuat sketsa Tamansari ketika nantinya pasukan Inggris memasuki Yogyakarta.

3

 

Jan Greeve, Gubernur VOC untuk wilayah pesisir timur, adalah salah satu orang asing yang pernah berkunjung ke Tamansari selama masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I. Sayangnya kunjungan ini tidak berakhir menyenangkan. Setelah menyerahkan hadiah, ia diajak oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I ke Tamansari menggunakan perahu bersepuh emas menuju salah satu pulau buatan. Namun tiba-tiba Sri Sultan Hamengku Buwono I yang saat itu sudah tua meninggalkan sampan dan menaiki tangga menghilang ke dalam sebuah ruangan. Jan Greeve yang tidak mengenal tempat itu jadi kebingungan mencari-cari. Dalam bangunan Tamansari yang lain, Jan Greeve menyebutkan bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono I mengajak semua yang hadir menari bersamanya.

Bencana dan Kerusakan Tamansari

Kemegahan Tamansari tidak bertahan cukup lama. Hanya berselang beberapa tahun semenjak selesai dibangun, tepatnya pada tanggal 7 September 1803, terjadi gempa akibat letusan Gunung Guntur di Jawa Barat. Gempa ini mengakibatkan pondasi Tamansari rusak. Air di kolam pemandian dan segaran (danau buatan) Tamansari merembes hingga kering. Upaya perbaikan segera dilakukan. Menurut laporan Matthijs Waterloo, Sri Sultan Hamengku Buwono II telah kembali bersampan di Tamansari sebulan setelahnya.

7

Kerusakan dalam skala besar terjadi ketika Inggris melakukan agresi ke Yogyakarta pada 1812. Tamansari turut menjadi sasaran. Memang saat itu, Tamansari digunakan menjadi bengkel senjata dan mesiu Keraton Yogyakarta. Sejak kekalahan Yogyakarta dalam perang tersebut, Tamansari terabaikan. Keadaan keraton terlalu kacau untuk memungkinkan sultan dan keluarganya berekreasi. Keadaan ini terus berlanjut, mengingat pada tahun 1825-1830 perang terjadi kembali.

Gempa kembali terjadi di Yogyakarta pada tanggal 10 Juni 1867. Ratusan bangunan rusak, termasuk bangunan-bangunan di Tamansari. Kompleks yang megah ini pun tinggal puing-puing.

Penelitian dan penggalian terhadap sisa Tamansari sudah mulai dilakukan pada tahun 1942 oleh Jawatan Purbakala Hindia Belanda. Namun proses penelitian ini terhenti ketika pasukan Jepang masuk dan mengusir pemerintah Belanda. Tamansari kembali terabaikan. Terlebih saat itu banyak warga yang menderita akibat pendudukan Jepang mengungsi ke dalam wilayah benteng. Atas rasa kemanusiaan, Sri Sultan Hamengku Buwono IX membiarkan mereka membangun pemukiman di atas puing-puing Tamansari.

Tercatat renovasi secara serius kembali dimulai semenjak 1977 oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya. Beberapa bangunan yang tertimbun, dibongkar. Namun tetap saja, hanya sebagian bangunan Tamansari yang bisa diselamatkan.

Pada tahun 2004, proses perbaikan bangunan Tamansari melibatkan Colouse Goulbenklan Foundation dari Portugal. Proyek pemerintahan Portugal untuk merawat bangunan-bangunan peninggalan bergaya seni portugis ini, mengirim seorang arsiteknya, Joao Campos, untuk membantu proses perbaikan di Tamansari.

4

Proyek perbaikan dilakukan dengan hati-hati. Pencampuran semen misalnya, dilakukan dengan cara tradisional karena khawatir alat berat dapat memperparah kerusakan bangunan. Oleh karenanya proyek perbaikan tidak bisa berlangsung cepat. Tercatat bahwa proyek yang dimulai dari Januari 2004 hingga tanggal 19 Maret 2004 ini masih belum sepenuhnya selesai. Proyek ini sendiri difokuskan pada bangunan-bangunan bergaya Portugis. Fokus utama dilakukan pada Umbul Binangun. Pada tahun ini pula Tamansari dinyatakan sebagai salah satu dari 100 Warisan Budaya Dunia, sehingga World Monument Fund ikut terlibat.

Perbaikan Tamansari masih jauh dari sempurna. Namun, gempa dengan skala besar kembali terjadi di tahun 2006. Gempa kali ini kembali merusak bangunan-bangunan di Yogyakarta. Sekali lagi, Tamansari mengalami kerusakan. Proses renovasi kembali dilakukan. Pada tahun ini pula, Pulo Kenanga mulai disentuh perbaikan.

Pada tahun 2016, Balai Pelestarian Cagar Budaya Yogyakarta kembali memulai pemugaran kawasan Tamansari. Perbaikan kali ini fokus pada kompleks bangunan Garjitowati. Beberapa bangunan kampung harus dipindahkan karena keberadaannya tepat di atas kompleks Garjitowati.

Meneliti Tamansari

Tamansari awalnya dibangun untuk kebutuhan rekreasi keluarga kerajaan dan berbagai fungsi lainnya. Kini Tamansari telah menjadi salah satu obyek wisata budaya peninggalan sejarah. Penelitian dan pemugaran terus dilakukan. Bukan hanya agar Tamansari dapat menjadi obyek wisata yang menarik namun juga untuk mempelajari kearifan local yang diperkenalkan pendiri Yogyakarta. Baik itu dalam bentuk tata ruang, tata air, maupun teknik konstruksi.


DAFTAR PUSTAKA:
Anonim. 1956. Kota Jogjakarta, 200 tahun, 7 Oktober 1756 - 7 Oktober 1956. Yogyakarta: Panitia Peringatan Kota Jogjakarta 200 th.
Anonim. 2014. Mosaic of Cultural Heritage Yogyakarta. Balai Pelestarian Cagar Budaya.
D’Almaeida, W.B. 1864. Life in Java: with sketches of the Javanese. Vol. 2. London: Hurst and Blacket Publishers
Ferdinand Mount. 2015. The Tears of the Rajas: Mutiny, Money and Marriage in India 1805-1905. London: Simon & Schuster UK
Carey, P.B.R. 2008. The Power of Prophecy, 2nd Edition. Leiden: KITLV Press
Ricklefs, M.C. 2004. Yogyakarta di bawah Sultan Mangkubumi. Yogyakarta: Mata Bangsa
Sukirman, DH. 1988. Mengenal Sekilas Bangunan Pesanggrahan Taman Sari Yogyakarta.