Beksan Lawung Ageng

Salah satu tarian pusaka yang dimiliki oleh Keraton Yogyakarta adalah Beksan Lawung Ageng, tari yang menggambarkan adu ketangkasan prajurit bertombak. Beksan Lawung Ageng diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755-1792) yang terinspirasi perlombaan watangan. Watangan adalah latihan ketangkasan berkuda dan memainkan tombak yang biasa dilakukan oleh Abdi Dalem Prajurit pada masa lalu. 

Dalam watangan, yang juga dikenal dengan sebutan Seton karena dimainkan tiap hari Sabtu, seorang prajurit akan berkuda sambil membawa tombak berujung tumpul yang disebut lawung. Lawung tersebut kemudian digunakan untuk menyerang dan menjatuhkan lawan. Perlombaan ini dahulu diadakan di Alun-Alun Utara dengan diiringi gamelan Kiai Guntur Laut yang memainkan Gendhing Monggang.

Beksan Lawung Ageng menggambarkan suasana berlatih perang dan adu ketangkasan dalam bermain tombak, sama seperti suasana pada saat watangan berlangsung. Gerakan-gerakannya mengandung unsur heroik, patriotik, dan berkarakter maskulin. Dialog yang digunakan dalam tarian merupakan campuran dari bahasa Madura, Melayu, dan Jawa. Dialog tersebut umumnya adalah perintah-perintah dalam satuan keprajuritan. 

2 Beksan Lawung Ageng Merupakan Salah Satu Tarian Pusaka

Beksan Lawung Ageng merupakan salah satu tarian pusaka.

 

Peran dalam Beksan Lawung Ageng

Ada lima peran dalam Beksan Lawung Agengjajar, lurah, botoh, ploncon, dan salaotho. Jajar terdiri dari empat penari, berperan sebagai prajurit muda yang penuh dengan semangat. Dalam struktur keprajuritan, jajar adalah pangkat paling rendah bagi seorang prajurit. Penari yang berperan sebagai jajar menggunakan ragam gerak bapang yang bersifat gagah dan ekspresif. Lurah juga terdiri dari empat penari, berperan sebagai prajurit yang telah matang. Dalam struktur keprajuritan, prajurit berpangkat lurah menempati posisi di atas jajar. Penari yang berperan sebagai lurah menggunakan ragam gerak kalang kinantang yang bersifat gagah dan anggun, lebih halus dibanding ragam gerak bapang. Jajar dan lurah inilah yang berperan sebagai prajurit yang berhadapan satu sama lain.

Peran botoh terdiri dari dua penari, berperan sebagai tokoh yang mengadu ketangkasan prajurit yang mereka miliki. Ploncon terdiri dari empat penari, keempatnya bertugas memegang tombak sebelum digunakan jajar atau lurah. Dalam pengertian umum, ploncon adalah perabot yang digunakan untuk meletakkan keris, tombak, atau songsong (payung) dalam posisi tegak. Peran ploncon kadang disebut juga sebagai pengampil. Salaotho terdiri dari dua penari, masing-masing berperan sebagai Abdi Dalem pelawak, yang setia pada masing-masing botoh. Penari yang berperan sebagai salaotho menggunakan ragam gerak gecul yang bersifat jenaka.

10 Dari Kiri Ke Kanan (titik Dua) Lurah, Botoh Dan Salaotho (ki Ka)

Dari kiri ke kanan: Lurah, Botoh dan Salaotho.

 

Iringan Beksan Lawung Ageng

Beksan Lawung Ageng ditarikan dengan iringan gendhing gangsaran, roning tawang dan bimakurda. Gendhing Gangsaran digunakan untuk mengiringi bagian awal beksan, Gendhing Roning Tawang digunakan untuk mengiringi bagian pertarungan antar prajurit jajar, sedang Gendhing Bimakurda digunakan untuk mengiringi bagian pertarungan antar lurah. Gendhing tersebut dimainkan oleh Gangsa Kiai Guntur Sari. Kiai Guntur Sari memiliki saron jauh lebih banyak dari seperangkat gamelan pada umumnya sehingga mampu menciptakan suara yang keras dan kuat seperti guntur. Suara ini cocok sekali untuk menghidupkan suasana latihan perang antara dua kelompok prajurit bersenjata tombak.

 

Beksan Lawung Ageng sebagai Tari Kenegaraan

Hingga saat ini, Beksan Lawung Ageng masih menempati posisi khusus sebagai bagian dari upacara kenegaraan. Beksan Lawung Ageng biasa dipentaskan untuk merayakan pernikahan agung putra-putri Sultan yang diselenggarakan di Kepatihan. Para penari Beksan Lawung Ageng akan ikut serta dalam kirab pengantin dari keraton menuju Kepatihan, lengkap dengan tata busana, atribut, dan perlengkapan tari.  Mereka mengendarai kuda, dinaungi payung kerajaan, dikawal oleh Bregada Wirabraja, dan diiringi gamelan Kiai Guntur Sari yang memainkan Gendhing Sabrangan

Pada masa lalu, Sultan tidak menghadiri resepsi pernikahan putra-putrinya yang digelar di Bangsal Kepatihan. Sebagai gantinya, Sultan mengirim dan menggelar Beksan Lawung Ageng. Keberadaannya setara dengan kehadiran Sultan sendiri. 

Beksan Lawung Ageng merupakan salah satu dari tiga rangkaian tari, yakni Lawung Ageng, Lawung Alit, dan Sekar Medura. Apabila ketiga beksan ini dipentaskan secara lengkap maka akan membutuhkan waktu selama 5 jam. Pada masa lalu, ketiga tari tersebut dibawakan oleh Abdi Dalem Prajurit dari regu Trunajaya, salah satu kesatuan dari Bregada Prajurit Nyutra. Karena itulah tari tersebut juga dikenal sebagai Beksan Trunajaya. Nama Trunajaya sendiri diambil dari tokoh pahlawan asal Madura yang sangat mengagumi Sultan Agung. Pada era Amangkurat I (1646-1677), ia dengan gagah berani mengangkat senjata menentang kolonialisme Belanda dan kemerosotan moral yang terjadi dalam pemerintahan Mataram Islam. 

Seperti tari gaya Yogyakarta lainnya, Beksan Lawung Ageng juga mengandung falsafah hidup. Melalui tarian ini Sri Sultan Hamengku Buwono I menanamkan nilai-nilai keberanian serta ketangkasan seorang prajurit keraton. Selama lebih dari dua abad, tari ini telah menjadi sarana pembentukan karakter jiwa seorang ksatria melalui kedisiplinan berolah fisik dan berolah batin. 


Daftar Pustaka:
RM Pramutomo. 2009. Tari, Seremoni, dan politik Kolonial (I). Surakarta: ISI Press
Soedarsono. 1997. Wayang Wong: Drama Tari Ritual Kenegaraan di Keraton Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada  University Press
Suryobrongto. __. Tari Klasik Gaya Yogyakarta. Yogyakarta: Museum Kraton Yogyakarta
Tim Penyusun. 2014. Ensiklopedi Kraton Yogyakarta. Yogyakarta: Dinas Kebudayaan DIY
Wawancara KRT Widyawinata pada 14 Maret 2018