Srimpi Dhendhang Sumbawa

Srimpi Dhendhang Sumbawa merupakan salah satu Yasan (karya) Sri Sultan Hamengku Buwono VII (1877-1921). Dinamai demikian karena tari tersebut diiringi gendhing pokok Dhendhang Sumbawa. Repertoar Srimpi Dhendhang Sumbawa mengambil kisah dari Serat Klana Giwangkara Prabu Amisesa. Catatan mengenai tari ini terekam dalam manuskrip (kini disimpan di Kawedanan Widya Budaya) dengan kode B/S 7, B/S 9, dan B/S 11. Pada 1986, Srimpi Dhendhang Sumbawa pernah direkonstruksi oleh M. Heni Winahyuningsih dari Fakultas Kesenian Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Setelah kurang lebih tiga dekade, Srimpi Dhendhang Sumbawa kembali ditampilkan pada Uyon-Uyon Hadiluhung Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, 13 Maret 2023.

Srimpi Dhendhang Sumbawa 01

Jalan Cerita

Inti cerita dari Srimpi Dhendhang Sumbawa adalah pertarungan antara Prabu Amisesa dengan Dewi Murdaningrum. Kehadiran tokoh Prabu Amisesa disebutkan dalam syair tembang.

Engge kang ngrenggani, anggrengani ing karsa
Risang Prabu Hamisesa
Panduk lagya api brangta.
Tersebutlah yang akan menghiasi, menghiasi kalbu
Sang Prabu Hamisesa
Sedang terbuai asmara.

Alkisah, Prabu Amisesa tengah berada di Purwalangen. Di sana, Prabu Amisesa diuji oleh dewa lewat kedatangan seorang putri berperangai buruk bernama Dewi Murdaningrum.  Pertemuan mereka digambarkan dalam cuplikan kandha (narasi) sebagai berikut:

… punika wonten cobaning jawata kalebetan pangendrajala putri, saking Ngendradiraja
Utusanipun sang Prabu Wanodya. Wondene utusan punika, atengaran Sang Dyah Retna 
Dewi Murdaningrum. Lah ing ngriku, nuju pinarak ing kedhaton pasanggrahan.    Alelangenan lawan sagung putri sedaya, abedhayan miwah srimpen, tuwin abeksan jemparing.

Saat itu, cobaan menghampiri dengan datangnya seorang putri berperangai buruk dari Ngendradiraja. (Ia) adalah utusan ratu putri, Prabu Wanodya. Utusan itu bernama Sang Dyah Retna Dewi Murdaningrum. Di situlah pada saat duduk di Pesanggrahan. Bergembira dengan para putri yang sedang menari bedhaya dan srimpi, dan tarian yang menggunakan panah.

Tembang pengiring Srimpi Dhendhang Sumbawa pun ikut menggambarkan datangnya cobaan tersebut. 

Sang dhusta wus munggeng nata
Neges karsaning Hyang.

Sang “pencuri” telah datang
Menjelaskan keinginan dari dewa.

Selain dijelmakan dalam ragam gerak, perang antara Prabu Amisesa dan Dewi Murdaningrum juga dilagukan dalam cuplikan sindhenan-nya.

Srimpi Dhendhang Sumbawa 03

Nabda Endrajala
“Panah ingsun tadhahana”
Tinadhahan tan wiwara.

Berbicaralah Endrajala (Dewi Murdaningrum)
“Terimalah panahku ini”
(keduanya) saling menerima panah (yang dilepaskan satu sama lain).

Komposisi Tari

Srimpi Dhendhang Sumbawa dibawakan oleh empat penari putri. Selain itu, terdapat empat orang sebagai penari dhudhuk yang bertugas membantu membawa jemparing/panah sebagai properti tari. 

Salah satu kekhasan Srimpi Dhendhang Sumbawa adalah banyaknya gerak milir, yaitu gerak kaki yang mengarahkan penari untuk berpindah tempat, seperti nyamber, kicat, dan kengser. 

Dalam Srimpi Dhendhang Sumbawa, tidak ada pihak yang kalah maupun menang. Kedua tokoh memiliki kekuatan yang sepadan. Prabu Amisesa dan Dewi Murdaningrum digambarkan sama-sama kuat dan silih berganti saling menyerang dengan melepaskan panah jemparing.

Ragam Gerak

Srimpi Dhendhang Sumbawa diawali dengan gerak rimong, yaitu melingkarkan sampur ke pundak. Setelah itu, penari melakukan sembahan, lalu ndhodhok (berjongkok) saling berhadapan satu sama lain. Ragam gerak lainnya adalah ngenceng encot, mayuk jinjit, impang encot, ridhong kengser, mapan kicat erek mandhe udhet, mapan ngundhuh sekar, ulap-ulap, sendhi nyathok udhet, dan lampah sekar. 

Srimpi Dhendhang Sumbawa 02

Pada adegan menuju perang, penari mengambil jemparing dalam posisi jengkeng (berjongkok) yang diberikan oleh penari dhudhuk. Selanjutnya, para penari jumeneng (berdiri) dan melakukan gerakan seperti lampah sekar, mapan ngembat jemparing, ulap-ulap mayuk jinjit seblak pacak jangga. Para penari saling beradu kekuatan dengan jemparing yang ada pada genggaman tangan. Panah yang dilepaskan dari jemparing menjadi puncak adegan perang. Adegan perang juga diwarnai dengan ragam gerak nyamber kiwa ngubengi mengsah, yaitu memutari musuh dengan berlari kecil. Sebagai penutup, para penari inti mengembalikan jemparing pada penari dhudhuk, dilanjutkan dengan mapan jengkeng dan sembahan. 

Busana dan Tata Rias

Saat Fakultas Kesenian Institut Seni Indonesia Yogyakarta merekonstruksi Srimpi Dhendhang Sumbawa, para penari mengenakan busana antara lain rompi bludru, kain bermotif parang ceplok gurdha, dan sampur motif cindhe. Bagian kepala dihiasi jamang dan dilengkapi sumping ron, godheg, jebehan, ceplok, dan pelik. Aksesorinya antara lain kalung sungsun tiga, gelang, kelat bahu, dan slepe. 

Pada Uyon-Uyon Hadiluhung 13 Maret 2023, para penari mengenakan busana gladhen dengan rincian busana nyamping parang parikesit klithik gurdha, sampur, rias wajah korektif, dan tata rambut gelung tekuk.

Iringan Tari

Gendhing yang mengiringi Srimpi Dhendhang Sumbawa umumnya berlaras Pelog Pathet Lima, rinciannya antara lain sebagai berikut; Lagon Jugag, Ladrang Gati Langen Brangta untuk mengiringi kapang-kapang majeng (penari memasuki area pertunjukan), Lagon Cekak Pelog Lima, Bawa Swara Sekar Tengahan, Gendhing Dhendhang Sumbawa, dhawah Ladrang Endhel, minggah Ketawang Puspa Kresna, Lagon Cekak, Ladrang Gati Mardawa untuk mengiringi kapang-kapang mundur (penari meninggalkan area pertunjukan) dan ditutup Lagon Cekak.

Penciptaan Srimpi Dhendhang Sumbawa tak lepas dari peran raja yang memimpin, dalam hal ini adalah Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Fenomena ini selaras dengan citra yang menyatakan bahwa setiap karya tari yang hidup di lingkungan kerajaan, merupakan karya raja yang sedang bertakhta. Tarian yang berkembang di lingkungan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat tidak sekadar ditujukan untuk kepentingan pertunjukan semata, tetapi juga sebagai bagian dari pengukuhan kewibawaan. 

Seorang pemimpin seringkali mendapat berbagai cobaan yang datang tanpa diduga. Cobaan inilah yang akan membuktikan komitmen dan kualitasnya sebagai pemimpin. Demikianlah perlambang yang tersaji dalam Srimpi Dhendhang Sumbawa. 


Daftar Pustaka

Arif E. Suprihono. 1995. Tari Srimpi: Ekspresi Budaya Para Bangsawan Jawa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Jennifer Lindsay, dkk. 1994. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 2: Kraton Yogyakarta. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Sulistiani. 2021. “Transit, Transisi, dan Transformasi Tari Srimpi Pandhelori Gaya Yogyakarta”,         Jurnal Kebudayaan, Vol. 16, No. 1.

MW Susilomadyo. 2023. Srimpi Dhendhang Sumbowo Jugag Kangge Uyon-Uyon Selasa Wagen 13 Maret 2023. Yogyakarta: Kawedanan Kridhamardawa

Wawancara dengan Nyi MW Widya Wahyu Budaya pada 19 Februari 2023

Wawancara dengan Nyi RB Lukitoningrumsumekto pada 3 Maret 2023