Srimpi Layu-Layu

Kandha

Sebetbyar wauta, hanenggih ingkang kawiyosaken punika. Lelangen Dalem Srimpi, Karsa Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan Hamengkubuwana, Senapati Ing Ngalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama Kalipatullah Ingkang Jumeneng kaping VIII, ingkang sudibya angrenggani Karaton Dalem ing Ngayugyakarta Hadiningrat.

Wondene Karsa Dalem, mundhut cariyosipun kalanira risang suryaning ngalaga, Wong Agung Anjayeng Rana, kala bilutama lan rajeng Parangakik kasikep ing ngayuda. Pinusara wonten ing dhasaring pratela sapta.

Kocap putri ajining Parangretna, sang Dyah Ayu Sudarawerti, ing dalu supena kapaggih lan risang jayaning ngayuda.

Sang dyah retna sampun nitihi swandana grudha, nulya mesat ing jumantara. Saliring sumbageng retna, pating galebyar amrabani sabataning angkasa.

Sareng mulat maangidul, adining kusuma, aningali peteng nggameng kadi mendhung. Kawaspadaken wonten wanodya nitih peksining dayat dibya.

Sang Dyah Sudarawerti tansah prayitneng ngayudha. Anyipta yen pandung ngaguna, akarsa den prepeki.

Lah ing ngriku risang kalih riwusnya pramukyeng mgayudha, gya jerwa jinarwa saniskareng lampah. Risang murtining dyah kekalih, tambuh paraning duka, manguntar-untar lir sinebit talinganira, akarsa mentaraken kawiragan. Winangsit ingkang swandana grudha Sang Dyah kekalih akarsa tandhing yuda.

Lah ing ngriku, risang kekalih dhasar sami putri ayu kang warna tur prajurit sura widibya, prawignya wirangeng yuda, kinuwasa mandraguna.

Lah ing ngriku, risang kekalih apan tansa kalayu-layu galihira.

Srimpi Layu Layu 001

Terjemahan

Syahdan, yang sedang ditampilkan saat ini. Tarian kegemaran raja, Srimpi, yang digagas oleh Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono, Senapati Ing Ngalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama Kalipatullah (Sri Sultan Hamengku Buwono VIII), (Ia) yang sakti [linuwih] bertakhta di Keratonnya, Ngayogyakarta Hadiningrat.

Demikian kehendak Sultan, menyadur dari cerita saat Sang Suryaning Ngalaga (bernama) Wong Agung Jayengrana bertarung dengan Raja dari Parangakik, namun tertangkap saat berperang, lalu disekapnya di dasar bumi ke tujuh.

Tersebutlah putri Raja Parangretna, Sang Dyah Ayu Dewi Sudarawerti, di malam hari Ia bermimpi bertemu Wong Agung Jayengrana.

(Pada Akhirnya) Sang Dewi telah menaiki garuda tunggangannya, lalu segera terbang ke angkasa. Seluruh hiasannya berupa intan, gemerlap menyinari seluruh angkasa.

Saat (Sudarawerti) melihat ke arah selatan, Ia melihat langit gelap seperti mendung. Setelah diamati ternyata ada wanita menaiki burung nan sakti.

Sang Dyah Sudarawerti selalu waspada dalam peperangan, berpikir bahwa (hal tersebut) mencurigakan maka ia pun menghampiri.

Di situlah setelah keduanya mengadu kekuatan. Segera saling menanyakan tujuan masing-masing, setelah mengetahui tujuan masing-masing, marahlah mereka, sangat marah seakan tercabik telinganya. Lalu hendak mengerahkan kekuatannya. Diceritakan garuda tunggangan mereka berdua hendak beradu kekuatan.

 Di situlah, kedua putri tersebut sama-sama putri nan cantik rupawan serta prajurit sakti nan berani, menguasai olah peperangan, sakti mandraguna.

Di situlah mereka berdua (saling berperang) sebab sama-sama tak mau kalah hatinya. 

(Kandha Wetah Srimpi Layu-Layu)

Srimpi Layu Layu 002

Sejarah

Srimpi Layu-Layu diciptakan dan berkembang pada era kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII (1921-1939). Informasi mengenai tarian ini termuat dalam manuskrip Kagungan Dalem Serat Beksa Bedhaya Srimpi dengan kode B/S 7, Kagungan Dalem Serat Kandha Bedhaya Srimpi (B/S 8 dan 9) dan Kagungan Dalem Serat Pasindhen Bedhaya Srimpi (B/S 14 dan 16) yang kini berada di Perpustakaan Kawedanan Widya Budaya Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. Sebutan “layu-Layu” diambil dari judul gendhing utama yang digunakan, yakni Gendhing Layu-Layu.

Layu-layu bukan berarti lelayu (kematian) atau kekalahan. Kata ini berakar dari ‘lalayu’, yaitu bendera kecil yang biasanya disematkan pada senjata seperti ujung tombak dan ujung panah sebagai gambaran kemenangan. Istilah tersebut identik dengan peperangan. Demikian halnya dengan Srimpi Layu-Layu yang menceritakan peperangan Dewi Sudarawerti dengan Dewi Sirtupelaeli.

Srimpi Layu-Layu dibawakan oleh empat orang penari. Selain itu terdapat dua orang dhuduk. Dua penari berperan sebagai Dewi Sirtupelaeli, sedangkan dua penari lainnya berperan sebagai Dewi Sudarawerti. Sementara itu, kedua dhuduk bertugas membawa properti yang digunakan dalam peperangan, yakni jemparing (panah) milik Dewi Sirtupelaeli.

Srimpi Layu Layu 003

Cerita

Srimpi Layu-Layu menukil cerita dari Serat Menak. Alkisah, Dewi Sudarawerti dan Dewi Sirtupelaeli masing-masing memimpikan Wong Agung Jayengrana atau Amir Hamzah dan kemudian jatuh cinta. Keduanya kemudian mencari tahu keberadaan kesatria tersebut dan mengetahui ia sedang disekap di Negara Parangakik. Dua dewi itu pun ingin menyelamatkan Jayengrana. 

Di tengah perjalanan keduanya bertemu. Mendapati masing-masing ingin menyelamatkan orang yang sama, mereka pun bertarung. Karena sama kuat, tak ada yang menang atau kalah. Di akhir cerita, keduanya diperistri oleh Wong Agung Jayengrana.

Tarian ini pernah dieksplorasi oleh Nyi KMT Murtiharini pada tahun 1986 atas saran BRAy Yudhanegara dalam mata kuliah tari Jawa enam yang diampu oleh Ben Suharto semasa kuliah di ISI Yogyakarta. Setelah berhasil direkonstruksi, Srimpi Layu-Layu dipentaskan dengan durasi asli selama kurang lebih satu setengah jam.

Srimpi Layu Layu 004

Ragam Gerak

Sama dengan tari srimpi pada umumnya, Srimpi Layu-Layu tersusun atas tiga bagian, yaitu maju gawang/kapang-kapang maju (penari memasuki area pertunjukan), tarian pokok, dan diakhiri dengan mundur gawang/kapang-kapang mundur (penari meninggalkan area pertunjukan). Cerita utama tergambar dalam bagian pokok yang menampilkan adegan peperangan. Terdapat ragam gerak khas dalam Srimpi Layu-Layu, yaitu Gajah Ngoling. Ragam gerak tersebut biasanya hanya ada dalam bedhaya dan tari golek.

Busana

Tata busana Srimpi Layu-Layu mirip dengan srimpi-srimpi lain yang pada pokoknya terdiri dari baju rompi dan kain seredan dilengkapi hiasan jamang dan bulu-bulu di kepala. Pada pementasan Uyon-Uyon Hadiluhung 18 Desember 2023, penari mengenakan busana gladhen (busana latihan) yakni ukel tekuk, semekan ubed-ubed bermotif kusuma bledak berlatar pethak yang dipadukan dengan embong merah muda, nyamping dengan pola seredan dan motif picis seling, sondher gendala giri berwarna hijau tosca, ditambah aksesori subang, cincin, serta tleseban praja cihna pada ukel tekuk.

Biasanya paraga dhuduk mengenakan rompi polos dipadukan kain seredan serta rias wajah paes tanpa prada dengan jahitan mata. Sementara rambut ditata dengan gaya gelung rejo dilengkapi hiasan ceplok dan pethat. Namun, pada pementasan Uyon-Uyon Hadiluhung 18 Desember 2023, paraga dhuduk mengenakan busana sabukwala dengan kain bermotif kawung, lonthong merah muda dan udhet gendalagiri berwarna biru muda, ditambah aksesoris subang. Rambut ditata/dikepang tanpa model ukel tekuk, ini menyesuaikan dengan busana dan paraga yang masih anak-anak. 

Srimpi Layu Layu 005

Properti

Salah satu kekhasan Srimpi Layu-Layu adalah kedua tokoh menggunakan senjata berbeda saat bertarung. Dewi Sudarawerti memakai pistol yang diselipkan pada sondher, sedangkan Dewi Sirtupelaeli memakai jemparing yang dibawakan oleh paraga dhuduk.

Iringan

Srimpi Layu-Layu termasuk srimpi kuno. Salah satu penandanya adalah iringan ladrang yang dimainkan pada ragam perangan. Ini berbeda dengan srimpi-srimpi saat ini yang menggunakan ayak-ayak. Namun, secara umum tatanan gendhing-nya sama, yaitu Laras Pelog Pathet Nem. Adapun urutan iringannya adalah: Lagon Lasem Jugag, Ladrang Gati Mardika (kapang-kapang majeng), Kawin Sekar Sinom, pembacaan Kandha, Kawin Sekar Gurisa Mengkreng, Gendhing Layu-Layu, Kendhangan Sarayuda, minggah Ladrang Larasati (perangan), Lagon Panunggul, Ladrang Gati Gatra Wirama (kapang-kapang mundur), dan terakhir Lagon Panunggul.

Tantangan iringan terletak pada Ladrang Larasati yang menggunakan nada pelog barang, tetapi tembangnya menggunakan pelog nem. Dalam naskah aslinya, iringan kapang-kapang maju dan kapang-kapang mundur sama-sama menggunakan Gati Raja. Ini karena penggunaan Gendhing Gati pada masa sebelum Sri Sultan Hamengku Buwono Ka 10, yang lazim digunakan adalah Gati Raja dan Gati Brongto. 

Srimpi Layu-Layu yang tampil pada Uyon-Uyon Hadiluhung 18 Desember 2023 sedikit dimodifikasi. Iringan kapang-kapang maju menggunakan Ladrang Gati Mardika, sedangkan kapang-kapang mundur diiringi Ladrang Gati Gatra Wirama.


Daftar Pustaka

Jennifer Lindsay, dkk. 1994. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 2 Kraton Yogyakarta. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Kagungan Dalem Serat Beksa Bedhaya utawi Srimpi (B/S 7), Koleksi Kapustakan Widya Budaya Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Kagungan Dalem Serat Kandha Bedhaya utawi Srimpi (B/S 8), Koleksi Kapustakan Widya Budaya Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Kagungan Dalem Serat Kandha Bedhaya utawi Srimpi (B/S 9), Koleksi Kapustakan Widya Budaya Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Kagungan Dalem Serat Pasindhen Bedhaya utawi Srimpi (B/S 14), Koleksi Kapustakan Widya Budaya Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Kagungan Dalem Serat Pasindhen Bedhaya utawi Srimpi (B/S 16), Koleksi Kapustakan Widya Budaya Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Yasadipura I, R.Ng. 1982. Menak Kanjun. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.

Daftar Wawancara

Wawancara dengan Nyi KMT Murtiharini pada 28 November 2023 dan 6 Desember 2023

Wawancara dengan Nyi RRiyo Condrorini 28 November 2023

Wawancara dengan MRiyo Susilomadya pada 6 Desember 2023

Wawancara dengan MB Kayunsumekto pada 6 Desember 2023