Tugu Golong Gilig, Simbol Persatuan Raja dan Rakyat

Tugu Golong Gilig dapat ditemui di persimpangan antara Jalan Margo Utomo (dulu dikenal dengan Jalan Pangeran Mangkubumi), Jalan A.M. Sangaji, Jalan Jendral Sudirman, dan Jalan P. Diponegoro. Tugu ini berada di utara keraton, menjadi bagian dari sumbu filosofis yang membentang dari Gunung Merapi, Tugu Golong Gilig, Keraton Yogyakarta, Panggung Krapyak, dan Laut Selatan. Karena bentuknya yang panjang dan warnanya yang putih, orang Belanda menyebutnya sebagai white paal (tiang putih). Oleh sebab itu hingga kini, Tugu Golong Gilig kadang masih disebut sebagai Tugu Pal Putih.

Tugu ini dibangun setahun setelah Yogyakarta berdiri, tepatnya pada tahun 1756. Bentuk awal bangunan ini berupa silinder (golong) dengan puncak berupa bulatan (gilig), sehingga dikenal dengan sebutan Tugu Golong Gilig. Bentuknya yang berupa golong gilig memiliki makna semangat persatuan antara rakyat dengan rajanya. Juga sebagai simbol atas filosofi Jawa Manunggaling Kawula Gusti yang bukan hanya berarti menyatunya rakyat dengan penguasa, tetapi juga menyatunya manusia dengan kehendak Sang Pencipta. Pada masa lalu bulatan atau gilig pada puncak tugu digunakan sebagai titik pandang ketika Sri Sultan sinawaka (meditasi) di Bangsal Manguntur Tangkil. Bangsal Manguntur Tangkil adalah ruang takhta yang terletak di Siti Hinggil Lor, pelataran keraton yang tanahnya ditinggikan.

Tugu Golong Gilig Setelah Gempa 1867

Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VI (1855-1877), tepatnya tanggal 10 Juni 1867 (4 Sapar Tahun 1796 J), terjadi gempa tektonik berskala besar di Yogyakarta. Beberapa bangunan runtuh, termasuk Tugu Golong Gilig. Pilar tugu patah kurang lebih sepertiga bagian. Peristiwa ini dikenang dalam candra sengkala yang berbunyi Obah Trus Pitung Bumi (tujuh bumi terus berguncang), menunjuk pada angka 1796 tahun Jawa.

Selama beberapa tahun, Tugu Golong Gilig terbengkelai. Baru pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII (1877-1921), tugu ini dibangun kembali dan diresmikan pada tanggal 3 Oktober 1889. Pembangunan kembali ini mengubah bentuk tugu dari yang semula berbentuk golong dan gilig, menjadi berbentuk persegi dan berujung lancip. Selain itu ketinggian tugu yang semula 25 meter menjadi 15 meter saja. Ditengarai, desain baru ini merupakan strategi pemerintah Belanda untuk menghilangkan simbol kebersamaan raja dan rakyat yang ditunjukkan oleh desain tugu sebelumnya.

Selatan
Lambang Sri Sultan Hamengku Buwono  VII

Prasasti pada Tugu Golong Gilig

Terdapat prasasti pada setiap sisi tugu yang baru tersebut. Keempat-empatnya merekam proses pembangunan kembali.

Di sisi barat terdapat prasasti yang berbunyi, “YASAN DALEM INGKANG SINUHUN KANJENG SULTAN HAMENGKUBUWANA KAPING VII”. Prasasti ini menunjukkan bahwa tugu tersebut dibangun pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwana VII.

Di sisi timur terdapat prasasti yang berbunyi, “INGKANG MANGAYUBAGYA KARSA DALEM KANJENG TUWAN RESIDHEN Y. MULLEMESTER”. Prasasti ini menyebutkan bahwa Y. Mullemester, Residen Yogyakarta waktu itu, menyambut baik pembangunan tugu tersebut. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa pemerintah Belanda tidak terlibat dalam pendanaan.

Di sisi selatan terdapat prasasti yang berbunyi, “WIWARA HARJA MANGGALA PRAJA, KAPING VII SAPAR ALIP 1819”. Wiwara Harja Manggala Praja merupakan sengkalan yang menandai selesainya pembangunan Tugu Golong Gilig yang baru. Wiwara berarti gerbang, mewakili angka sembilan. Harja bermakna kemakmuran, mewakili angka satu. Manggala bermakna pemimpin, mewakili angka delapan. Sementara Praja bermakna negara, mewakili angka satu. Dapat diartikan bahwa perjalanan menuju gerbang kemakmuran dimulai dari pemimpin negara. Sengkalan ini menunjuk pada angka 1819, sesuai dengan tahun yang ditulis di bawahnya. Di atas tulisan tersebut terdapat lambang padi dan kapas dengan tulisan HB VII, juga lambang mahkota Belanda di puncaknya. Lambang ini adalah lambang resmi yang dipakai oleh Sri Sultan Hamengku Buwana VII.

Di sisi utara terdapat prasasti yang berbunyi, “PAKARYANIPUN SINEMBADAN PATIH DALEM KANJENG RADEN ADIPATI DANUREJA INGKANG KAPING V. KAUNDHAGEN DENING TUWAN YPF VAN BRUSSEL. OPSIHTER WATERSTAAT”. Prasasti ini menyebutkan bahwa pelaksanaan pembangunan tugu dipimpin oleh Patih Danurejo V (1879-1899), dan arsitektur tugu dirancang oleh YPF Van Brussel, seorang petugas Dinas Pengairan Belanda yang bertugas di Yogyakarta.

Tugu Golong Gilig Saat Ini

Semenjak pembangunan kembali setelah rusak akibat gempa, tidak ada lagi perubahan atas bangunan tugu. Hanya ada pekerjaan yang bersifat perawatan dan penataan kawasan di sekelilingnya saja.

Pada tahun 2015, sebuah miniatur Tugu Golong Gilig selesai dibangun pada sudut perempatan sebelah tenggara tugu. Miniatur ini dibangun sesuai desain awal dan dilengkapi dengan keterangan mengenai sejarah perjalanan tugu sebagai salah satu simbol penting di Kesultanan Yogyakarta. Pembuatan miniatur ini menjadi jalan tengah bagi kebutuhan masyarakat untuk memahami sejarah dan falsafah dari bentuk tugu hasil rancangan pendiri Yogyakarta, dan kelestarian tugu hasil desain orang Belanda yang kini telah menjadi bangunan cagar budaya sekaligus landmark kota Yogyakarta.

Img 1717
Miniatur bentuk asli Tugu Golong Gilig

Daftar Pustaka:
Adishakti, Laretna T. 2010. Kota Yogyakarta Kota Pustaka. UNESCO
Djoko Dwiyanto, dkk. 2014. Ensiklopedi Kraton Yogyakarta. Yogyakarta: Dinas Kebudayaan DIY
Haryono, Azis. 2015. Penanda Kawasan sebagai Penguat Nilai Filosofis Sumbu Utama Kota Yogyakarta. Jurnal ATRIUM Vol 1, No. 2. Yogyakarta: Universitas Kristen Duta Wacana.
Kusumawardhani, Laksmi. 2008. The Power of Symbol at Keraton Yogyakarta. Fine Arts in Egypt 100 Years of Creativity Conference, Cairo.
Gubernur DIY, 2017. Penetapan Ruas Jalan Sepanjang Sumbu Filosofi Sebagai Struktur Cagar Budaya, SK Gubernur No