Toponim Kampung Prajurit di Yogyakarta

Kota Yogyakarta kaya dengan toponim. Banyak nama kampung yang berkaitan erat dengan asal-usul keberadaan kampung tersebut. Salah satunya adalah nama kampung yang muncul dari nama-nama kesatuan prajurit keraton yang pernah bermukim di sana. Penempatan pemukiman prajurit tersebut tidak dapat dipisahkan dari sejarah prajurit keraton itu sendiri.

Kasultanan Yogyakarta telah memiliki kesatuan-kesatuan prajurit yang kuat sejak awal berdirinya. Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755-1792) dan Hamengku Buwono II (1792-1812), terdapat 15 perangkat Abdi Dalem Prajurit, 6 perangkat Abdi Dalem Prajurit Kadipaten (pengawal putra mahkota), dan 5 perangkat Abdi Dalem Prajurit Pangrembe.

Para prajurit keraton ini tinggal di sekitar keraton, di dalam benteng baluwarti. Dengan demikian kesatuan-kesatuan prajurit tersebut memiliki posisi strategis dalam mempertahankan benteng keraton.

Pada bulan Juni 1812 M, terjadi penyerbuan pasukan Inggris ke Keraton Yogyakarta. Penyerbuan ini dilakukan karena penguasa kolonial Inggris memandang Sri Sultan Hamengku Buwono II tidak mau tunduk pada kekuasaan mereka. Saat itu Inggris sedang berperang dengan kerajaan Belanda dan berhasil menguasai koloni Hindia Belanda di bawah kekuasaan mereka.

Serbuan itu memuncak pada tanggal 20 Juni 1812. Pasukan Inggris berhasil menerobos benteng dan menguasai keraton. Peristiwa ini dikenal dengan Geger Sepehi.

Sri Sultan Hamengku Buwono II diturunkan dari tahta, kemudian diasingkan ke Penang. Pemerintah Inggris lalu mengangkat Putra Mahkota sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono III. Campur tangan politik dan militer dilakukan oleh Inggris dengan maksud melemahkan Keraton Yogyakarta. Termasuk mengurangi jumlah prajurit dan kelengkapan kelengkapan militernya.

Perubahan penting terjadi setelah Sri Sultan Hamengku Buwono III membuat perjanjian dengan Letnan Gubernur Jenderal Raffles yang memaksa prajurit keraton tidak boleh lagi berada dalam format angkatan perang yang kuat sebagaimana masa sebelumnya. Kesatuan prajurit diperlemah sampai tidak memungkinkan lagi untuk melakukan gerakan militer. Prajurit keraton tidak lebih hanya berfungsi sebatas pengawal Sultan dan penjaga keraton.

3.3.4 2 Denah Toponim Kampung Prajurit
Denah Kampung Prajurit Kasultanan Yogyakarta

Asal Mula Kampung Prajurit di Luar Benteng Keraton

Keadaan ini berlanjut sampai pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono IV (1814-1820 M). Pemukiman di dalam benteng baluwarti ditata ulang. Untuk melemahkan posisi strategis prajurit keraton, maka pemukiman prajurit keraton yang awalnya berada di dalam benteng baluwarti dikeluarkan dan ditempatkan di sekeliling benteng.

Dalam Serat Rerenggan Keratonpupuh Sinom pada 24 disebutkan,

"Ya ta ingkang winurcita, karsa dalem Sri Bupati, kang jumeneng ping sekawan, byanti lan pamrentah nagri, ing mangke ngewahi, pemahan jron beteng agung, prajurit wismanira,gelondhong dadya satunggil, matrijero, ketanggung, nyutra disuda."

"Pra prajurit wismanira, tancep lama kanan kering, sakilen sawetan pura, samangke dadya sawiji, reh niyaka jro jawi, byantu ngusung griyanipun, weneh ngulon mangetan, ler ngidul pundi den broki, pan gumerah swaranya wong ngusung griya."

Dapat diterjemahkan dengan bebas sebagai,

"Sebagaimana dikisahkan, atas kehendak Sri Bupati yang keempat (Sultan Hamengku Buwono IV), dibantu penguasa negeri, terjadi perubahan penting menyangkut prajurit yang bermukim di dalam benteng, rumahnya dipindah jadi satu di luar benteng, jumlah Prajurit MantrijeroKetanggung, dan Nyutra dikurangi. Terjadi gerakan pemindahan rumah para prajurit dari dalam benteng, keluar ke segala arah. Ramai sekali suara orang memindahkan rumah-rumah prajurit ini."

Beberapa kesatuan prajurit bersama rumah mereka dipindahkan ke bagian sisi sebelah barat, selatan, dan timur benteng. Penempatan tersebut membentuk pola tapal kuda sehingga masih berfungsi melindungi keraton. Perlu dipahami bahwa rumah tradisi Jawa pada masa itu terbuat dari kayu dan bersifat bongkar pasang, sehingga proses perpindahan pemukiman yang terjadi bukan hanya sekadar perpindahan manusia dan barang-barangnya. Namun juga membongkar rumah, menggotong potongan-potongannya, kemudian menyusunnya kembali di lokasi permukiman yang baru.

3.3.4 3 Prajurit Wirabraja
Patung Prajurit Wirabraja

 

Lokasi penempatan prajurit itulah yang sekarang masih dapat dilacak sesuai dengan nama-nama toponim kampungnya.

Langenastran dan Langenarjan

Langenastran dan Langenarjan adalah kampung tempat tinggal Abdi Dalem prajurit pengawal Langenastra dan Langenarja. Keduanya masih berada di dalam benteng baluwarti. Selama masa Sri Sultan Hamengku Buwono I sampai dengan Hamengku Buwono IV, Prajurit Langenastra termasuk dalam prajurit kadipaten, prajurit pengawal putra mahkota yang bertempat tinggal di Istana Sawojajar.

Kedua kampung ini berada di sebelah timur Alun-Alun Selatan. Secara administratif berada di Kelurahan Panembahan, Kecamatan Keraton.

Wirobrajan

Wirobrajan berasal dari nama kesatuan Prajurit Wirabraja. Wirobrajan berasal dari kata Wirabraja yang mendapat akhiran "-an" untuk menandakan tempat.

Saat ini Wirobrajan adalah nama sebuah kecamatan. Kecamatan Wirobrajan mencakup tiga kelurahan, yaitu Kelurahan Wirobrajan, Kelurahan Patangpuluhan, dan Kelurahan Pakuncen. Terletak di sebelah barat benteng Baluwarti.

Patangpuluhan

Patangpuluhan berasal dari nama kesatuan Prajurit Patangpuluh. Kampung Patangpuluhan berada di wilayah Kelurahan Patangpuluhan, Kecamatan Wirobrajan.

Ketanggungan

Ketanggungan berasal dari nama kesatuan Prajurit Ketanggung. Kampung Ketanggungan berada di selatan wilayah Kelurahan Wirobrajan, Kecamatan Wirobrajan.

Suronggaman

Suronggaman berasal dari nama kesatuan Prajurit Surogama. Kampung Suronggaman berada di tepi barat Kampung Ketanggungan, jadi berada pada bagian tepi barat wilayah Kelurahan Wirobrajan, Kecamatan Wirobrajan.

Bugisan

Bugisan berasal dari nama kesatuan Prajurit Bugis. Kampung Bugisan berada di bagian paling selatan wilayah Kelurahan Patangpuluhan, Kecamatan Wirobrajan.

 

3.3.4 4 Prajurit Bugisan
Patung Prajurit Bugis

Dhaengan

Dhaengan berasal dari nama kesatuan Prajurit Dhaeng. Prajurit Dhaeng berasal dari Pura Mangkunegaran Surakarta. Prajurit tersebut awalnya ditugaskan untuk mengawal GKR Bendara, putri Sri Sultan Hamengku Buwono I yang bercerai dengan KGPAA Mangkunegoro I, kembali ke Yogyakarta. Setibanya di Yogyakarta, prajurit ini memutuskan menetap dan menjadi bagian dari prajurit Kasultanan Yogyakarta. Kesatuan ini kemudian digabungkan menjadi satu dengan orang-orang Bali dan Bugis yang sudah bergabung dengan Kasultanan Yogyakarta, lalu dibagi menjadi dua bregada. Yaitu Bregada Prajurit Dhaeng dan Prajurit Bugis.

Kampung Dhaengan ditempatkan di sebelah selatan benteng. Secara administratif, kini berada di wilayah Kelurahan Gedongkiwa, Kecamatan Mantrijeron.

Mantrijeron

Mantrijeron berasal dari nama kesatuan Prajurit Mantrijero, atau juga dikenal dengan Mantrilebet. Pemukimannya ditempatkan di sebelah selatan benteng. Saat ini Mantrijeron juga menjadi nama sebuah kecamatan. Kecamatan Mantrijeron mencakup tiga kelurahan, Kelurahan Suryodiningratan, Kelurahan Gedongkiwa, dan Kelurahan Mantrijeron.

Jagakaryan

Jagakaryan berasal dari nama kesatuan Prajurit Jagakarya. Kampung ini berada di bagian selatan wilayah Kelurahan Mantrijeron, Kecamatan Mantrijeron.

Jageran

Jageran berasal dari nama kesatuan Prajurit Jager, salah satu Abdi Dalem prajurit yang bertugas mengawal raja saat berburu di hutan Krapyak. Kata Jager sendiri berasal dari bahasa Belanda yang berarti pemburu. Mereka tidak mengenakan seragam khusus, hanya pakaian sehari-hari para abdi keraton.

Sejak awal keberadaannya, prajurit ini sudah bertempat di luar Benteng Baluwarti. Kampung Jageran berada di sebelah selatan benteng dan utara dari Panggung Krapyak. Secara administratif berada di Kelurahan Mantrijeron, Kecamatan Mantrijeron.

Prawirotaman

Prawirotaman berasal dari nama kesatuan Prajurit Prawiratama. Pada mulanya, prajurit ini merupakan Abdi Dalem Prajurit Kadipaten. Kampung Prawiratama bertempat di tenggara benteng, tepatnya di Kelurahan Brontokusuman, Kecamatan Mergangsan.

Surokarsan

Surokarsan berasal dari nama kesatuan Prajurit Surakarsa. Kampung Surokarsan berada di sebelah timur benteng. Secara administratif berada di Kelurahan Wirogunan, Kecamatan Mergangsan.

Nyutran

Nyutran berasal dari nama kesatuan Prajurit Nyutra. Disebut Prajurit Nyutra, karena konon prajurit golongan ini merupakan prajurit sumbangan dari Madura yang di tempat asalnya, Keraton Sumenep, bernama Prajurit Panyutra. Pengiriman prajurit ini adalah sumbangan persahabatan dari Madura kepada Keraton Mataram. Kampung Nyutran juga berada di Kelurahan Wirogunan, Kecamatan Mergangsan.

3.3.4 6 Prajurit Nyutra
Patung Prajurit Nyutra

 

Kampung-kampung yang telah disebutkan di atas kini sudah tidak ditinggali lagi oleh prajurit keraton. Keberadaannya telah menyatu dengan pemukiman sekitar yang dihuni oleh masyarakat umum. Namun sebagai pengingat, di beberapa sudut jalan diletakkan patung prajurit keraton yang sesuai dengan dengan nama kampung tersebut.

Toponim dapat kita pandang sebagai jejak sejarah sebuah kota. Ia merupakan penanda yang dapat mengajarkan kepada penghuninya bagaimana kota tersebut telah tumbuh dan berkembang. Dengan memahami aspek kesejarahan, dapat ditelusuri pula karakter fisik, sosial, ekonomi, dan budaya sebuah kota. Dari sanalah sebuah kota dapat dikembangkan lebih lanjut tanpa harus kehilangan akar budayanya.


Daftar Pustaka:
Yuwono, dkk. 2009. Prajurit Kraton Yogyakarta. Yogyakarta: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta
Dharma Gupta, dkk. 2007. Toponim Kota Yogyakarta. Yogyakarta: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta